1. Pendahuluan
Dalam buku Strategi Transformasi Bangsa: Menuju Indonesia Emas 2045 (Prabowo Subianto, 2023), Prabowo Subianto menceritakan tentang dirinya mengapa ia terdorong terjun ke jalan negarawan yang disebabkan oleh kondisi hari ini yang masih belum mampu mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa dan pentingnya memiliki kemauan dan kemampuan untuk memenuhi janji kemerdekaan. Selain itu, tekad untuk memerangi korupsi yang dinilai merugikan negara dan rakyat. Itu tepat di tahun 2045, yakni 100 tahun kemerdekaan Indonesia. Disinilah pentingnya transformational leadership, yakni mengubah keadaan hari ini untuk mewujudkan cita-cita di masa depan.
Dalam Radical Transformational Leadership (2017) karya Monica Sharma, transformational leadership didefinisikan sebagai gaya kepemimpinan yang memiliki kemampuan mengubah keadaan hari ini (current condition) untuk menjadi yang diharapkan/lebih baik. Contohnya Lee Kuan Yew dinilai sebagai transformational leader Singapura karena dianggap telah mengubah negaranya dari pelabuhan kecil menjadi negara maju yang disegani. Untuk mewujudkan kemandirian dan kedaulatan Indonesia pada 2045 serta net zero emission pada 2060, penulis menilai pentingnya transformational leader. Mereka memiliki ambisi untuk mengubah negaranya agar mampu mandiri, berdaulat dan maju. Prabowo Subianto yang dinilai memiliki jiwa patriotis diharapkan menjadi transformational leader menuju 2045 dan 2060.
Dalam buku Strategi Transformasi Bangsa: Menuju Indonesia Emas 2045 (Prabowo Subianto, 2023), umpamanya Prabowo Subianto memiliki target menjadi negara maju dengan mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 10%. Ia tahu bahwa untuk menjadi negara besar harus tidak dengan cara-cara biasa, melainkan terobosan-terobosan inovatif untuk mencapai sesuatu yang luar biasa. Karena itu, ia bertekad mengejar ketertinggalan dan mengubah Indonesia menjadi negara maju melalui inovasi-inovasi kebijakan.
Menurut Andrew Taylor dalam Rethinking Leadership for a Green World (2022), role model green innovation leadership adalah konsep kepemimpinan berwawasan keberlanjutan (sustainability) untuk merespons perubahan iklim (climate change) melalui inovasi untuk kebutuhan saat ini dan ke depan melalui ketauladanan. Kita membutuhkan pemimpin transformatif yang berwawasan keberlanjutan melalui terobosan-terobosan inovasi untuk mencapai target-target di masa mendatang untuk merealisasikannya dan ketauladanan.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan kemandirian dan kedaulatan Indonesia pada 2045 serta net zero carbon 2060, penulis meyakini bahwa pentingnya intellectual stimulation transformational leadership, disamping individualized consideration, idealized influence, dan motivational inspiration, menjadi bagian dari role model green innovation leadership. Dengan demikian, melalui inovasi-inovasi anak-anak bangsa untuk kemandirian dan kedaulatan 2045 serta berwawasan keberlanjutan untuk 2060.
1.1 SWOT Analysis
Untuk mengetahui seberapa besar kemampuan yang dimiliki dalam mengejar green innovation leadership, penulis mencoba melakukan analisa SWOT untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan internal, atau peluang dan tantangan ke depan (strength, weakness, opportunity, threat). Dalam kedua bukunya Strategi Transformasi Bangsa: Menuju Indonesia Emas 2045 (2023), Paradoks Indonesia dan Solusinya (2021) karya Prabowo Subianto, dan film The East (2020) karya Jim Taihuttu, penulis telah menganalisa Indonesia dari berbagai sisi, baik kekuatan dan kelemahannya, ataupun peluang serta ancamannya.
Dari sisi kekuatan, kepemimpinan Indonesia memiliki kekuatan patriotis & nasionalisme, ketauladanan pahlawan, konstitusi 1945 sebagai panduan pemimpin, populasi besar, dan sumberdaya alam melimpah. Tetapi, kelemahannya ialah pemimpin yang KKN, SDM tidak kompetitif di tingkat global, serta pemimpin yang mudah ditekan oleh asing. Kemudian dalam hal peluang, kepemimpinan Indonesia memiliki modal geopolitik-ekonomi Indonesia yang strategis, peran kepemimpinan Indonesia yang masih diakui di kancah global, dapat menghentikan pelarian kekayaan ke luar negeri, dan dapat mewujudkan keadilan & kesejahteraan. Sementara itu, ancamannya ialah situasi geopolitik akhir-akhir ini yang tak menentu dan ancaman ekspansi pemain global di bidang ekonomi.
Berdasarkan pemetaan analisa SWOT di atas, penulis melihat masih adanya hal positif yang menguntungkan Indonesia, tetapi tetap diperlukan akselerasi intellectual stimulation transformational leadership sebagai bagian dari role model green innovation leadership, yang akan dipaparkan di pada butir nomor 4 di bawah ini. Kekuatan Intellectual stimulation leadership ini adalah kepemimpinan transformatif yang akan membuat terobosan-terobosan antara lain: innovation, creativity, goals, & challenges.
2. WHY: Bernegara untuk Kemajuan dan Kemakmuran
Dalam bukunya, Strategi Transformasi Bangsa: Menuju Indonesia Emas 2045 (Prabowo Subianto, 2023), Prabowo Subianto menyinggung tentang perjalanan personalnya (personal journey) mengapa ia harus terjun ke bidang politik. Salah satu yang mendorong ia untuk terjun ke politik dan jalan negarawan adalah kondisi hari ini yang masih belum mampu mewujudkan cita-cita para pendiri bangsa untuk melindungi, mencerdaskan, dan menyejahterakan masyarakat Indonesia. Sementara itu, Prabowo sendiri memiliki cita-cita untuk memenuhi janji kemerdekaan itu tepat di tahun 2045, yakni 100 tahun kemerdekaan Indonesia. Ada dua hal yang disoroti Prabowo Subianto yakni capaian kita sampai hari ini dan cita-cita menuju negara maju dan makmur.
Pertama, capaian kita sampai hari ini, yakni prestasi yang telah dicapai. Sebagai seorang pemimpin, Prabowo mencatat kinerja di berbagai sektor sebagai fakta kinerja Indonesia hari ini. Diantaranya adalah PDB Indonesia No. 16 (US$ 1 triliun), ranking kompleksitas ekonomi No. 61, kekayaan SDA No. 11 (US$ 1,5 triliun), besaran utang No. 20 (US$ 390 M), dan anti-corruption leadership (sumber: Cohort 5).
Kedua, Indonesia menuju negara maju dan makmur. Dalam hal ini, diperlukan peran sentral seorang pemimpin yang transformatif dapat mewujudkannya. Karena itu, beberapa yang diperlukan diantaranya ialah pentingnya partriotisme & nasionalisme pemimpin, kepemimpinan dan pengaruh dunia internasional meningkat, dan daya saing sumber daya manusia meningkat.
Antara pencapaian saat ini dan cita-cita menjadi negara maju dan makmur diperlukan sebuah kepemimpinan transformatif, yakni role model green innovation leadership. Kepemimpian ini menitik beratkan pada role model yaitu ketauladanan yang diharapkan spirit dan perilakunya dapat ditularkan kepada seluruh tim di dalam organisasi. Di samping ketauladanan, gaya kepemimpinan ini juga menekankan pentingnya inovasi berwawasan keberlanjutan sebagai cara untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik.
2.1 Role Model
Mempertimbangkan semua yang dijelaskan dalan WHY termasuk memerangi korupsi di Indonesia maka kita butuh Role Model. Hal ini dikarenakan role model adalah penentu dalam hidup bernegara dan organisasi. Seperti yang dipaparkan oleh Jaksa Agung ST. Burhanuddin Abdullah bahwa untuk memberantas korupsi diperlukan role model pemimpin berkarakter antikorupsi yang memiliki ciri-ciri patron bagi bawahan, fokus pada penyelesaian masalah, dan memotivasi orang lain menjadi lebih baik (ST. Burhanuddin Abdullah, 2024).
Lantas Role Model apa yang dibutuhkan? Role model yang memenangkan 2045 dan 2060 yaitu mempunyai intellectual stimulation transformational leadership, disamping individualized consideration, idealized influence, dan motivational inspiration, menjadi bagian dari role model green innovation leadership.
2.2 Green Innovation Leadership
Green innovation leadership adalah kepemimpinan berwawasan keberlanjutan melalui inovasi-inovasi baru untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik. Kepemimpinan transformatif membutuhkan inovasi-inovasi yang diharapkan menjadi terobosan agar kinerja ekonomi lebih baik. Sebagaimana dipaparkan Nadia Aslam Janjua dalam Harnessing Green Innovation Via Green Transformational Leadership in Italian Luxury Hotels (2024), bahwa green innovation merupakan bagian dari green transformational leadership. Dalam hal ini, Nadia Aslam Janjua melihat bahwa green transformational leadership merupakan cara kepemimpinan untuk menghasilkan kinerja ekonomi yang memperdulikan isu-isu lingkungna global yang harus ditangani agar kehidupan menjadi lebih baik. Dengan demikian, green innovation leadership merupakan cara kepemimpinan transformatif untuk menghasilkan inovasi dalam mendongkrak kinerja yang lebih baik dengan memperhatikan keberlanjutan.
3. What: Untuk Kemandirian dan Kedaulatan Indonesia 2045 dan Mitigasi Net Zero Carbon 2060
Pentingnya role model green innovation leadership yang mempunyai kekuatan intellectual stimulation transformational leadership untuk kemandirian dan kedaulatan Indonesia pada 2045 dan mitigasi net zero carbon 2060. Tanpa kepemimpinan yang mempunyai transformational leadership tersebut, sulit rasanya untuk mencapai roadmap atau target milestone di masa depan. Fadli Zon sendiri dalam paparannya untuk mencapai kemandirian dan kedaulatan pada 2045 dan mitigasi net zero carbon 2060, Indonesia sudah memiliki gagasan ekonomi kerakyatan yang berasal dari Mohamad Hatta dan dapat diinstitusionalisasi.
3.1 Role Model Green Innovation Leadership
Role model green innovation leadership adalah istilah yang penulis kembangkan sebagai upaya membentuk kepemimpinan berwawasan lingkungan untuk merespons perubahan iklim (climate change) yang terjadi saat ini dan ke depan melalui terobosan-terobosan baru dan ketauladanan kepemimpinan (role model). Menurut Andrew Taylor dalam Rethinking Leadership for a Green World (2022) bahwa perubahan iklim telah memaksa manusia untuk mengubah perilakunya demi keberlanjutan (sustainability).
Menurut Prabowo Subianto dalam Strategi Transformasi Bangsa: Menuju Indonesia Emas 2045 (Prabowo Subianto, 2023), adanya perubahan iklim ini telah memicu untuk mendorong akselerasi inovasi untuk mengatasi ancaman-ancaman dampaknya. Maka, mau tak mau, Pemerintah, pelaku usaha ataupun masyarakat pun dipicu untuk berbenah. Praktek gaya kepemimpinan di organisasi pun berubah. Karena, kepemimpinan memegang peranan kunci dalam menjalankan organisasi untuk menciptakan dan memberi nilai kepada masyarakat. Terdapat tiga karakteristik role model green innovation leadership.
3.1.A Values-Based Leadership
Menurut Harry M. Kraemer, Jr., values-based leadership adalah gaya kepemimpinan yang ditopang oleh keyakinan terhadap nilai-nilai untuk menciptakan performa di dalam tim. Sederhananya, Harry dalam buku From Values to Action: The Four Principles Values-Based Leadership (Harry M. Kraemer, Jr., 2011) menjelaskan bahwa nilai-nilai yang diyakini dapat menjadi landasan untuk membentuk budaya kerja di dalam organisasi sesuai dengan nilai-nilai. Dalam hal ini, role model green innovation leadership menekankan pentingnya nilai-nilai wawasan pro-sustainability dan ketauladanan menjadi bagian dalam values.
Misalnya, di industri pangan, John Mackey dikenal sebagai figur pemimpin yang pro-sustainability terhadap lingkungan, fair trade, dan kesehatan masyarakat. Kesuksesan Whole Foods tidaklah lepas dari gaya kepemimpinan berwawasan lingkungan John dalam membangun bisnisnya yang peduli terhadap isu pangan, kualitas pangan, kesehatan masyarakat, dan kesejahteraan petani. Whole Foods pun menjadi role model yang dinilai sukses menjaga keseimbangan antara planet, people, dan profit.
3.1.B Results-Based Leadership
Bila values-based leadership menyandarkan pada nilai-nilai, maka cara kerja mengukur dan menelusuri dari nilai ke kinerja, penulis berpendapat pentingnya result-based leadership. Konsep ini dikemukakan oleh Dave Ulrich, Jack Zenger, Norman Smallwood, dalam bukunya Result-Based Leadership: How Leaders Build the Business and Improve the Bottom Line (1999). Menurut pakar kepemimpinan dari Harvard Business School itu, result-based leadership adalah cara membentuk kepemimpinan yang bersandarkan pada tujuan pencapaian. Gol akhir menjadi panduan dalam pengembangan kepemimpinan. Misalnya, pemimpin memiliki target mencapai nol emisi Indonesia di 2060.
Umpamanya, perusahaan software Jerman ternama SAP berkomitmen untuk mengurangi emisi dari tahun 2000 hingga 2020. Inisiatif ini bukanlah sekadar untuk mempercantik imej perusahaan, melainkan komitmen kepedulian terhadap lingkungan. “It’s not just about following laws or working with environmental groups. Sustainability is now being integrated across the organization; it’s an important part of growth strategies. Businesses get it now. They know they need to be at the forefront,” papar Eric Orts, profesor studi hukum dan direktur Initiative for Global Environmental Leadership (IGEL) Wharton Business School. Menurutnya, komitmen ini membuahkan hasil yakni perusahaan telah melakukan efisiensi biaya hingga 190 juta Euro sejak 2000-2011.
3.1.C New Momentum, New Engines
Di beberapa negara Barat, perubahan iklim ini menjadi momentum baru untuk menciptakan peluang. Untuk itu, tidak heran, bagi Pemerintah dan pelaku usaha di Eropa dan Amerika, perubahan iklim adalah business opportunity. Ada beberapa sektor yang industri yang punya potensi bisnis yakni renewable energy sources in electricity production, infrastructure sector-energy efficiency in buildings, financial sector and the carbon markets, insurance sector, organic farming, biofuels, food & beverage industry, telecommunications, tourism, dan lainnya. Oleh karena itu, perubahan iklim adalah momentum baru untuk menyiapkan mesin pertumbuhan baru yang secara perlahan menggantikan portofolio lama.
Oleh karena itu, perubahan iklim adalah momentum baru untuk menyiapkan mesin pertumbuhan baru bagi pemain inkumben. Sejak sepuluh tahun terakhir, banyak perusahaan global telah menyiapkan peta jalan (roadmap) untuk memanfaatkan perubahan iklim sebagai peluang bisnis agar mereka bisa survive hingga beberapa puluh tahun ke depan. Mesin baru ini dapat diartikan kemamapuan organisasi agar terus adaptif. Ia mampu berpikir secara jangka panjang, dapat mendeteksi perubahan, dan mendorong transformasi agar tetap mampu relevan di masanya. Contohnya, sejak 2021, sebuah bank besar asal Amerika Serikat meluncurkan pembiayaan proyek ramah lingkungan penggunaan teknologi rendah karbon, termasuk bioenergy; carbon capture, utilization, and sequestration; direct air carbon capture; hydrogen; renewable energy; dan renewable natural gas. Dengan cara ini, bank tersebut dikenal sebagai perbankan yang punya reputasi dalam pembiayaan berkelanjutan.
4. How: Intellectual Stimulation Transformational Leadership
Menurut Saul Mcleod, Ph.D. dalam Transformational Leadership Style: How to Inspire and Motivate, intellectual stimulation leadership adalah gaya kepemimpinan transformatif untuk menciptakan lingkungan yang mendorong anak buah atau tim menjadi calon pemimpin berikutnya. Ia mampu memotivasi, mendorong, mengembangkan, dan memberi kepercayaan kepada tim untuk berkembang sebagai calon pemimpin berikutnya (Saul Mcleod, Ph.D., 2023). Dengan kata lain, intellectual stimulation transformational leadership adalah gaya kepemimpinan yang mampu menginspirasi, mempengaruhi, memotivasi, mendorong secara intelektual pengikut dan anak buahnya agar bisa mencapai tujuan bersama.
“These leaders encourage innovation, creativity, and personal development among their team members, fostering an environment of trust, respect, and admiration,” tulisnya dalam artikel Transformational Leadership Style: How To Inspire And Motivate (2023). Seperti terlihat pada gambar di bawah ini, Saul Mcleod mengidentifikasi ada empat karakteristik untuk mendorong transformational leadership di organisasinya yakni intelectual stimulation, individualized consideration, idealized influence, dan inspirational motivation.
Dengan demikian, intellectual stimulation untuk menciptakan transformational leadership ini sangat relevan. Pemimpin dikatakan mampu menciptakan transformational leadership dengan intellectual stimulation melalui inovasi, kreativitas, tujuan yang harus dicapai (goals), dan tantangan (challenges) yang diberikan kepada tim. Bahkan, tak hanya itu, transformational leadership dibentuk karena idealized influence juga penting karena berkaitan dengan role model, kepemimpinan yang sejalan antara perkataan dan perbuatan (walk the talk), antusiasme (enthusiasm), serta memberi contoh penerapan nilai-nilai (embody values).
Dalam hal ini, untuk mencapai kemandirian dan kedaulatan Indonesia 2045 dan mitigasi net zero carbon 2060, diperlukan intellectual stimulation leadership untuk mengembangkan para role model green innovation leadership yang kelak mereka siap mengejar mengubah keadaan menjadi lebih baik. Terdapat empat karakteristik dalam intellectual stimulation transformational leadership.
4.1 Leading Purpose
Leading purpose yakni spirit melahirkan inovasi yang dilandasi oleh tujuan besar. Menurut Fred Reichheld dalam buku Winning on Purpose (2021), purpose didefinisikan sebagai tujuan akhir yang hendak dicapai organisasi perusahaan. Purpose adalah misi end-goal yang dijadikan kompas sebagai panduan menyusun strategi (Fred Reichheld, 2021). Leading purpose ini mendorong para entrepreneur atau inovator untuk berpikir jangka panjang: bagaimana inovasi dan usaha mereka survive hingga melampaui seratus tahun. Mereka mampu melewati masa-masa krusial yang dapat mengancam eksistensinya seperti depresi ekonomi, perang dunia, krisis ekonomi, politik, hingga disrupsi teknologi, perubahan model bisnis (business model), dan disrupsi yang dipicu lahirnya generasi-generasi baru karena memiliki perilaku berbeda daripada generasi sebelumnya. Role model green innnovation leadership memiliki purpose untuk keberlanjutan. Karena itu, para pemimpin transformatif akan mengubah situasi ekonomi ke arah yang berkelanjutan dan memperhatikan aspek-aspek lingkungan.
Dalam bukunya yang terkenal, Start with Why (2011), Simon Sinek menjelaskan bahwa organisasi hebat seringkali dimulai dari “why” yang kuat. Why mencerminkan tentang alasan keberadaannya (existence), keyakinan (believe), dan tujuan yang ingin dilakukan perusahaan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat (purpose). Dan, leading purpose merupakan bagian dari why yang menjadi kompas organisasi untuk menjalankan misi keberadaannya.
4.2 Leadership Style
Gaya kepemimpinan mengacu pada metode dan perilaku pemimpin saat menjadi role model, mengarahkan, memotivasi, dan mengelola tim dan organisasi. Gaya kepemimpinan seseorang juga menentukan bagaimana mereka menyusun strategi dan mengimplementasikan rencana sambil memperhitungkan harapan para pemangku kepentingan dan kesejahteraan tim mereka. Role model green innovation leadership memiliki leadership style tersendiri yang menjadi ciri khasnya. Contoh intellectual stimulation transformational leadership, disamping individualized consideration, idealized influence, dan motivational inspiration, menjadi bagian dari role model green innovation leadershipialah kepemimpinan yang mendorong organisasi yang dikelolanya untuk menghasilkan inovasi berwawasan keberlanjutan dan terobosan-terobosan baru sebagai bagian dari pertumbuhan green economy ke depan.
Menurut Michael E. Porter dan Forest L. Reinhardt dalam tulisannya A Strategic Approach to Climate di Harvard Business Review (2007) mengatakan bahwa agar perubahan iklim menjadi isu strategis dalam gaya kepemimpinan (leadership style) dan masuk ke dalam strategi & inisiatif. Artinya, isu perubahan iklim tidak direspons sekadar program-program jangka pendek atau gimmick, melainkan concern kepemimpinan di organisasi dan menjadi core strategy yang turut menentukan arah perusahaan. “The effects of climate change on companies’ operations are now so tangible and certain that the issue is best addressed with the tools of the strategist, not the philanthropist,” tulis Michael E. Porter dan Forest L. Reinhardt.
4.3 Culture
Budaya merupakan cerminan dari keyakinan dan perilaku organisasi. Secara keseluruhan, budaya memandu bagaimana orang-orang harus bertindak dan berpikir. Dengan begitu, budaya menjadi identitas atau ciri khas organisasi dibandingkan yang lain. Budaya perusahaan adalah kepribadian organisasi dan mencakup segala hal mulai dari nilai-nilai inti hingga pembentukan perilaku dan kepemimpinan. Role model green innovation leadership merupakan pemimpin yang peduli terhadap culture. Iamemberi warna dalam budaya organisasi dengan mengedepankan nilai-nilai keberlanjutan agar menghasilkan inovasi model bisnis yang sustainable. Di samping itu, role model green innovation leadership mampu mendorong para pemimpin baru melalui inovasi budaya organisasi agar mereka siap menjadi calon pemimpin di masa depan.
Misalnya, menurut survei lembaga konsultan Capgemini bahwa untuk melakukan transformasi di perusahaan ialah menangani isu-isu budaya (cultural issues). Dalam hal cultural issues, Capgemini melihat ada tujuh aspek penting di budaya perusahaan yaitu innovation, data-driven decision-making, collaboration, open culture, digital-first mindset, agility & flexibility, dan customer centricity. Ketujuh elemen ini merupakan digital culture yang perlu dimiliki pemimpin transformatif. Mengapa isu budaya menjadi penting? Ethan Bernstein dari Harvard Business School menyatakan budaya merupakan aspek penentu transformational leadership. “Culture is the glue that either keeps us doing things well or keeps us doing things poorly,” ujarnya. Dengan kata lain, budaya merupakan katalis penting dalam melakukan transformasi.
4.4 The Innovation Catalyst
The innovation catalyst adalah inovator yang mengembangkan inovasi dengan menemukan permasalahan di masyarakat (painstorm), menemukan solusinya (sol-jam), dan mengembangkan perangkat untuk mengetahui feedback dari masyarakat (code-jam). Mereka memiliki pemahaman ini untuk membantu siapapun menciptakan prototypes, menjalankan eksperimen, dan belajar dari permasalahan di masyarakat untuk dikembangkan menjadi terobosan. Role model green innovation leadership menginisiasi agar the innovation catalyst menjadi bagian dari gerakan menumbuhkan inovasi.
Untuk meningkatkan loyalitas dan advokasi konsumen, inovasi oleh innovation catalyst tidaklah harus selalu yang berkaitan dengan produk ataupun layanan. Diantaranya ialah bagaimana produk/layanan yang diciptakan dapat meningkatkan kesadaran terhadap berbagai isu lingkungan ataupun kemanusiaan. Menurut Anthony W. Ulwick dalam Turn Customer Input into Innovation (2002) di Harvard Business Review, bahwa konsumen merasa senang bila mereka memberi masukan. Diantaranya mereka memberikan masukan makanan yang lebih sehat, kendaraan ramah lingkungan, bahan-bahan makanan menyehatkan, dan lainnya. Oleh karena itu, inovasi ini bukan lagi sekadar memberi benefit langsung kepada mereka, melainkan juga kontribusi terhadap sosial atau lingkungan.
5. Where: Culture of Innovation
Culture of innovation adalah pembentukan budaya (culture) inovasi di dalam organisasi (organization) melalui orang (people). Seperti diungkapkan oleh Paddy Miller dan Thomas Wedell-Wedellsborg dalam buku Innovation as Usual: How to Help Your People Bring Great Ideas to Life (2013) bahwa elemen pembentukan budaya inovasi adalah behavior = personality × environment. Perilaku dapat dibentuk melalui karakter atau personalitas yang distimulus oleh lingkungan kerja.
Menurut Paddy Miller & Thomas Wedell-Wedellsborg, inovasi tidak dapat terbentuk secara berkelanjutan jika para talenta tidak memiliki perilaku inovatif. Dan, perilaku inovatif semakin dirasa penting ketika perkembangan teknologi dan model bisnis sangat dinamis. Misalnya, ketika membaca buku AI 2041: Ten Visions for Our Future (2024) karya Kai-Fu Lee dan Chen Qiufan, ternyata kita sudah melewati empat wave perkembangan AI, yaitu (wave 1) internet AI 2010; (wave 2) business AI 2014; (wave 3) perception AI 2016; (wave 4) autonomous AI 2018 (Kai-Fu Lee & Chen Qiufan, 2024). Kai-Fu Lee justeru melihat lebih jauh abad 21 ke depan bahwa akan ada sepuluh tren di masa mendatang yang akan merevolusi kehidupan seperti contactless love, biometrics, deep learning, dan lainnya.
Untuk menghadapi tren ini, mau tidak mau kita harus memiliki culture of growth: bagaimana menciptakan dan mengembangkan growth mindset dalam budaya organisasi. Menurut Mary C. Murphy dalam bukunya Cultures of Growth: How the New Science of Mindset Can Transform Individuals, Teams and Organisations (2024) bahwa growth mindset dapat mentransformasi individu atau tim untuk mencapai sebuah breakthrough sekaligus mengeluarkan potensi masing-masing.
Behavior dirancang untuk membentuk perilaku inovatif. Ia punya karakter untuk selalu mencari inovasi dalam setiap kesempatan apapun. Mengapa behavior itu penting? Penulis teringat satu buku menarik berjudul Eat, Sleep, Innovate: How to Make Creativity an Everyday Habit Inside Your Organization (2020) karya Scott D. Anthony, dkk. Penulis ini mengatakan pentingnya perilaku untuk menghasilkan inovasi dan kreativitas, yang ia sebut sebagai culture of innovation.
Menurut penulisnya, culture sendiri diatrikan sebagai “culture is what you do when the managers leave the room”. Ketika tidak ada bos di kantor, kita akan melihat perilaku karyawan aslinya. Itulah cutlure. Dengan kata lain, indikator melihat culture itu tidak semata-mata saat bekerja di kantor, melainkan apa yang dilakukan sehari-hari. Maka, culture of innovation sendiri diartikan sebagai sesuatu perilaku yang dapat mendorong inovasi sukses secara alami (drive innovation success come naturally). Agar upaya menananmkan culture of innovation ini berhasil dan mendorong perilaku yang diinginkan, ini diperlukan suatu peretasan kebiasaan (hacking habits) melalui BEANs, yang terdiri dari behavior enablers, artifacts, and nudges.
Berdasarkan pengalaman dan studi literatur yang penulis lakukan, ada empat elemen dalam behavior, yakni ketaatan (consistent execution), keikhlasan (sincere), kesabaran (perseverance), dan kasih sayang (compassionate) seperti terlihat pada model di bawah ini yang disebut sebagai Rumah 4K. Masing-masing elemen ini akan penulis kupas satu per satu.
5.1 Consistent Execution (Ketaatan)
Bila diartikan, ketaatan adalah kepatuhan dan kesetiaan terhadap suatu hal yang dianggapnya penting. Dalam kaitan dengan pembentukan culture of innovation, ketaatan dapat diartikan sebagai bentuk kecintaan dan kepatuhan melakukan sesuatu agar inovasi yang diimpikan dapat terwujud yang impactful (consistent execution). Maka, dengan kata sederhana, ketaatan adalah bentuk dari disciplined process. Mengapa disciplined process ini penting? Menurut Mike Paton & Lisa González dalam bukunya Process! How Discipline and Consistency Will Set You and Your Business Free (2022) mengatakan bahwa hampir 80% perusahaan startup gagal di 5 tahun pertama, 10% berhasil melewati fase 10 tahun, dan 10% sukses berlanjut. Besarnya faktor kegagalan ini dikarenakan oleh incosistent execution. Mereka tidak siap, kewalahan, frustasi dan tidak mampu mengelola kegiatannya. Semua hal itu berkaitan dengan proses.
Ketaatan dalam role model green innovation leadership merupakan bagian dari untuk menghasilkan kinerja baik atau inovasi yang terus memperhatikan isu-isu lingkungan.
5.2 Sincere (Keikhlasan)
Keikhlasan dapat dimaknai sebagai upaya ikhlas (sincere) dan transparan atau jujur dalam menghasilkan produk/layanan untuk dapat memecahkan persoalan masyarakat atau memenuhi kebutuhan mereka saat ini. Seperti kata Geoffrey Jones dalam Deeply Responsible Business (2023) terbitan Harvard Business Review Press bahwa dalam bisnis diperlukan kesejalanan antara keuntungan dan tujuan sosial. Ini karena organisasi perusahaan didorong memiliki landasan rasa tanggung jawab yang lebih besar (higher responsibility). Rasa tanggung jawab yang lebih besar tidak sekadar urusan kinerja bisnis, melainkan isu sosial, lingkungan, kemasyarakatan, dan lainnya.
Jones menemukan bahwa para pemimpin perusahaan seringkali termotivasi oleh nilai-nilai dasar (values). Ia menyebutnya dengan istilah tanggung jawab yang lebih tinggi, melampaui kepentingan diri sendiri (self-interest) dan profit semata. Keikhlasan itu beyond self-interest. Dengan cara ini, maka pertumbuhan bisnis yang dikejar pun bukan dalam jangka waktu pendek, melainkan jangka panjang dan berkelanjutan. Geoffrey Jones menampilkan profil para pemimpin bisnis dari seluruh dunia yang menggabungkan keuntungan dengan tujuan sosial untuk menghadapi kesenjangan, kerusakan, dan degradasi ekologi, dan lainnya. Mereka mampu bertahan melewati 100 tahun.
5.3 Grit (Ketangguhan/Kesabaran)
Yang penulis artikan kesabaran ialah sebagai upaya untuk meraih hasil bukan dengan cara instan, melainkan kegigihan atau ketekunan. Atau, istilah manajemen yang keren adalah grit. Menurut Thomas H. Lee & Angela L. Duckworth dalam Organizational Grit di Harvard Business Review menyebutkan bahwa grit adalah kombinasi antara passion (kecintaan) dan perseverance (ketabahan). Seperti seorang dokter yang teliti, hati-hati, kegigihan, dan kepedulian untuk menyelematkan nyawa banyak orang. Inilah bentuk kesabaran. Menurut Dorie Clark dalam bukunya The Long Game: How to Be a Long-Term Thinker in a Short-Term World (2021), saat menyebutkan ciri-ciri seorang pemimpin hebat, kesabaran mungkin bukanlah hal pertama yang terlintas dalam pikiran banyak orang. Namun survei baru yang dilakukan oleh seorang profesor di Georgia Tech mengungkapkan bahwa ketika para pemimpin menunjukkan kesabaran, hal ini secara signifikan meningkatkan kreativitas, kolaborasi, dan produktivitas laporan mereka.
5.4 Compassionate (Kasih Sayang)
Kasih sayang merupakan bentuk culture of innovation yang memiliki rasa cinta terhadap inovasi bagaikan anak sendiri. Dalam buku Compassionate Leadership: How to do Hard Things in a Human Way (2021), Rasmus Hougaard & Jacqueline Carter kasih sayang ini sama dengan compassionate. Mereka mengatakan bahwa seorang pemimpin atau inovator memiliki rasa tanggung jawab untuk melakukan hal apapun, meskipun sulit, agar hasil karyanya bisa menyelesaikan persoalan masyarakat dan lingkungan. Jika diartikan, kasih sayang atau welas asih (compassionate) adalah kombinasi antara kepedulian (care) dan kebijaksanaan (wisdom). Kombinasi antara care dan wisdom ini, menurut Rasmus Hougaard & Jacqueline Carter, telah menghasilkan sebuah model matriks dengan empat komponen yakni wise compassion, caring avoidance, ineffetive indiffference, dan uncaring execution. Untuk membentuk culture of innovation, menurut penulis perlu mengambil langkah wise compassion.
6. When: Embracing the Future: Shaping Leaders Start from Today
Role model green innovation leadership melihat bahwa kapan untuk mencapai cita-cita kemandirian dan kedaulatan Indonesia serta net zero carbon pada 2060 diperlukan pembentukan kepemimpinan dimulai dari saat ini dan meng-embrace masa depan. Artinya, masa depan di tahun 2045 atau 2060 harus dijadikan panduan untuk pembentukan kepemimpinan hari ini. Ada 6 hal yang harus diperhatikan untuk membentuk kepemimpinan hari ini.
6.1 Agile Tenacity
Menurut studi IMD Business School, para leader saat ini dihadapkan pada serangkaian tantangan berat yang menggabungkan antara volatilitas ekonomi, gejolak politik dan sosial, serta percepatan teknologi. Kesuksesan dalam menghadapi tantangan-tantangan ini membutuhkan kepemimpinan yang dinamis dan kuat, yakni kegigihan yang lincah (agile tenacity). Kegigihan lincah ini sebagai perpaduan antara kemampuan beradaptasi (adaptation), ketahanan (resilience), dan ketabahan (grit). Artinya, tidak hanya mampu cepat beradaptasi terhadap keadaan baru, melainkan juga punya daya tahan banting dan semangat untuk mau bangkit kembali. Menurut Diane Gherson dan Lynda Gratton dalam tulisannya Managers Can’t Do It All di HBR’S 10 Must Reads (2024) bahwa salah satu tuntutan pembentukan kepemimpinan di era saat ini adalah pergerakan harus lincah. Mereka bisa fleksibel menghasilkan outcome dimanapun dan kapanpun, tetapi tetap selaras (align) dengan vision, mencerminkan culture, dan mencapai purpose yang sama-sama diinginkan.
6.2 Experimentation Mindset & Rebel Talent
Kita sering melihat eksperimen sebagai salah satu dari kemampuan leadership yang sebelah mana. Menerapkan strategi yang sudah proven tampaknya baik-baik saja, tetapi tidak memilih untuk bereksperimen dan mengambil risiko. Namun, sebagaimana hasil studi IMD Business School menemukan membawa masa depan ke masa kini dan berani bereksperimentasi merupakan kemampuan kepemimpinan yang penting. Karena itu, penulis menggagas movement “One Student, One Employee, One Innovation” sebagai langkah agar mahasiswa ataupun karyawan calon leader harus berani ekperimentasi untuk berinovasi. Prinsip berani bereksperimen itu merupakan bagian dari upaya membentuk kemauan untuk terus berbenah (continuous improvement). Seperti diungkapkan oleh Andy Ellis dalam buku 1% Leadership (2023) tentang pentingnya sebuah individu, tim dan organisasi yang berani melakukan eksperimen dan berbenah sekecil apapun dapat menghasilkan perubahan mengesankan. Oleh karena itu, bisa dipahami jika Francesca Gino di buku Rebel Talent (2018) mengungkapkan jangan dianggap remehnya rebel talent. Mereka punya modal keberanian, kritis, mempertanyakan apapun yang ada (existing condition), dan berani mencoba melakukan hal baru. Rebel talent ini adalah aset penting untuk organisasi agar terus punya semangat bereksperimen.
6.3 Tech-Savviness
Menurut hasil survei Harvard Business School menunjukkan bahwa seorang leader ke depan perlu membangun keahlian teknologi di semua level (tech-savviness). Dari hasil survei, 46% responden mengatakan pentingnya antisipasi lebih dini untuk mengadaptasi perkembangan teknologi, seperti Generative Artificial Intelligence (GenAI). Adanya perubahan teknologi ini mendorong kebutuhan para pemimpin yang dapat menguasai teknologi di semua level (tech-savviness). Satu dari tiga responden mengatakan kemampuan pemimpin terhadap teknologi dapat membuat perusahaan tetap berada di papan atas.
6.4 Humanizing Leadership in the Digital Age
Walaupun kebutuhan terhadap kemampuan teknologi semakin meningkat, di sisi lain para pemimpin ditekankan tentang pentingnya kemampuan memimpin orang secara emosional yang meliputi menginspirasi memotivasi, dan mendorong mereka berkembang ke next level. Dalam hasil surveinya, Harvard Business School menemukan dua tantangan ke depan yakni membangun budaya inklusif dan beragam (31%), dan mendorong inspirasi dan motivasi di antara karyawan (30%). Para pemimpin saat ini mempunyai tugas lebih dari sekedar pengambilan keputusan strategis dan mengarahkan tim mereka menuju tujuan. Mereka juga menghadapi serangkaian tekanan kompleks yang dapat berdampak signifikan terhadap kesehatan mental (mental health). Pada tahun 2024, tren penting dalam kepemimpinan adalah meningkatnya fokus dalam mengelola tidak hanya kesehatan mental seseorang, melainkan juga anggota tim. Apalagi, secara global, kesehatan mental tim harus diperhatikan dalam organisasi.
6.5 Purpose-Driven Leadership
Menurut studi IMD Business School, kini ada tren dimana karyawan ataupun anak buah semakin mencari tujuan dalam pekerjaan mereka. Pemimpin yang dapat mengartikulasikan dan menyelaraskan organisasi mereka dengan tujuan yang jelas, selain mencari keuntungan, akan terus diterima oleh karyawan dan konsumen. Inilah purpose-driven leadership. Banyak tren global, seperti keberlanjutan, keadilan sosial, dan tanggung jawab lingkungan, memiliki corak berbeda dari kepemimpinan berbasis nilai. Purpose-driven leadership memiliki tiga karakteristik, mereka jelas mengenai misi (apa yang mereka katakan); mereka menyelaraskan tindakan mereka dan bertindak secara konsisten (apa yang mereka lakukan); dan akhirnya, mereka otentik (apa yang mereka wujudkan). Lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Tantangannya adalah menjembatani tujuan individu dan organisasi ketika keduanya berbeda.
6.6 Leading Hybrid Work Strategy
Di samping memiliki keterampilan tentang teknologi, para leader ke depan diharapkan mampu mengelola tim bekerja secara remote dan bagaimana agar mereka bisa berkolaborasi secara efektif dan efisien menghasilkan outcome. Hasil survei Harvard Business School bahwa 48% responden mengatakan adanya kebutuhan peningkatan produktivitas dan pertumbuhan bisnis di tengah adaptasi gig (pekerja yang tak terikat) dan hybrid. Lingkungan kerja hibrid itu menggabungkan elemen remote-work dan in-office work. Karyawan memiliki fleksibilitas untuk bekerja dari rumah, kantor satelit, atau kantor utama perusahaan, tergantung pada peran dan preferensi mereka. Bekerja ala hibrid menawarkan beberapa keuntungan, seperti peningkatan keseimbangan kehidupan kerja, pengurangan waktu perjalanan, dan peningkatan akses ke kumpulan talenta global. Namun, hal ini juga menimbulkan serangkaian tantangan kepemimpinan yang unik.
7. Who: Creative Stars
Dalam kerangka green innovation leadership, kita perlu mengembangkan para telenta menjadi para pemimpin di masa depan. Salah satu caranya adalah mengembangkan innovation catalyst. Menurut Roger L. Martin, innovation catalyst adalah agent of change yang didorong mengembangkan inovasi dengan menemukan permasalahan di masyarakat (painstorm), menemukan solusinya (sol-jam), dan mengembangkan perangkat untuk mengetahui feedback dari masyarakat (code-jam). Mereka memiliki pemahaman ini untuk membantu siapapun menciptakan prototypes, menjalankan eksperimen, dan belajar dari permasalahan di masyarakat untuk dikembangkan menjadi terobosan.
Para innovation catalyst itu setidaknya harus mengetahui perkembangan teknologi yang berkembang dan mengubah ke depan, mendorong gerakan inovasi, dan creative stars.
7.1 The Technology Trends That Will Change in the Future
Untuk menghasilkan inovasi berwawasan keberlanjutan, kita dapat menggali ide inovasi dan perkembangan tren saat ini yang menjadi peluang. Diantaranya ialah perkembangan teknologi. Teknologi merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi bisnis ke depan. Untuk itu, menurut hemat penulis, saatnya para pelaku bisnis perlu mulai mengidentifikasi perkembangan teknologi ke depan dan dampaknya terhadap perkembangan bisnis dan perubahan perilaku konsumen di masa mendatang. Apa saja tren dan inovasi teknologi di masa mendatang yang akan mengubah wajah bisnis?
Berdasarkan desk research dari berbagai media, penulis melihat beberapa tren teknologi yang akan berdampak terhadap bisnis dan menjadi peluang. Diantaranya ialah (1) generative artificial intelligence (Gen AI); (2), sustainable technology; (3) cybersecurity, yang diharapkan dapat mengatasi berbagai ancaman serangan siber; (4) komputasi kuantum akan mendominasi komputasi skala besar; (5) automation atau otomasi industri akan terus tumbuh dan berinovasi, didorong oleh konvergensi internet of things (IoT), edge computing, AI, machine learning, dan 5G/6G; (6) web 3.0 & metaverse yang akan akan mendapatkan daya tarik lebih membuka jalan bagi teknologi baru; (7) autonomous vehicle yang akan mengubah transportasi lebih lanjut, (8) 5G and 6G network technology development; (9) teknologi jaringan 5G dan 6G akan berkembang dan mengubah lanskap bisnis; (10) biotechnology yang menggabungkan biologi dan teknologi untuk menciptakan produk dan proses baru yang meningkatkan kehidupan manusia; dan, (11) human-machine interface. Tren perkembangan teknologi ini harus menjadi perhatian dalam role model green innovation leadership.
7.2 One Student, One Employee, One Innovation
Ketika menginisiasi movement “One Student, One Employee, One Innovation” atau biasa disebut OSOEOI, penulis sesungguhnya ingin mendorong terciptanya mesin leader creates leaders, agar mampu menghasilkan pemimpin transformatif (transformational leader), seperti diungkapkan Saul Mcleod, Ph.D., dalam tulisannya Transformational Leadership Style: How To Inspire And Motivate (2023). Sebagai kelompok terdidik, mereka diharapkan siap menjadi pemimpin di masa depan. Saat inilah kesempatan kita segera menggerakkan semua potensi anak bangsa agar semakin sehat dan banyak melahirkan transformational leader.
Apabila OSOEOI ini berhasil memacu orang inovasi akan melahirkan ekosistem inovasi yang bagus seperti di Sillicon Valley. Setiap anak muda atua startup berlomba-lomba untuk menghasilkan inovasi karena merasa tertantang untuk menyelesaikan persoalan tertentu. Oleh karena itu, movement OSOEOI ini bukanlah sekadar meningkatkan inovasi dalam bisnis melainkan juga mendorong orang lain untuk berinovasi. Dengan demikian, OSOEOI menjadi pemantik untuk mendorong berkembangnya inovasi.
7.3 Creative Stars: In the organizations to solve business problems
Menurut Manuel Sosa, innovation catalyst itu adalah creative stars, yakni mereka yang memiliki inovasi cemerlang dengan ditunjukkan oleh hak paten yang banyak dikutip. Mereka dapat melakukan itu karena memiliki karakteristik design thinker, yakni kemampuan memetakan masalah hingga menyelesaikannya dalam bentuk inovasi produk/layanan. Critical thinking menjadi core skill yang dimiliki creative stars untuk menyelesaikan persoalan bisnis. Selain itu, creative stars sendiri memahami bahwa inovasi juga dipengaruhi oleh preferensi perilaku konsumen. Dan, prediktor terbaik perilaku konsumen adalah kemampuan memperhetitungkan intensi perilaku (behavioral intention) yang dibentuk oleh sikap (attitudes) dan norma subjektif (subjective norms).
Namun, lebih dari itu, menurut Roger L. Martin, hal paling mencolok yang membedakan creative stars ialah bagaimana menciptakan inovasi untuk menghasilkan tingkat kepuasan pelanggan yang sangat memuaskan (delighting). Seperti temuan hasil survei McKinsey, manfaat yang bernilai nyata seperti diskon dan produk gratis mungkin dapat menarik konsumen ke dalam program, tetapi manfaat tersebut tidak cukup untuk mempertahankan mereka.
Kesimpulan
Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa diperlukan kepemimpinan transformatif melalui inisiatif strategis yaitu akselerasi intellectual stimulation leadership dalam role model green innovation leadership sebagaimana telah dipaparkan di atas untuk mengejar kemandirian dan kedaulatan Indonesia 2045 dan mitigasi net zero carbon 2060 diperlukan. Prabowo Subianto dinilai sebagai pemimpin yang diharapkan mampu menjadi green innovation leadership yang mampu menghasilkan terobosan-terobosan berwawasan keberlanjutan dan menciptakan para pemimpin inovatif baru sehingga Indonesia mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain.
Daftar Pustaka
Achmad Soegiarto, Unleashing Innovation with SPRINT+: How Organizations Can Cultivate Innovation Catalysts, SPRINT+, 2024.
Andrew Taylor, Rethinking Leadership for a Green World, Routledge, 2022.
Fred Reichheld, Winning on Purpose: The Unbeatable Strategy of Loving Customers, Harvard Business Review Press, 2021.
Prabowo Subianto, Strategi Transformasi Bangsa: Menuju Indonesia Emas 2045, Media Pandu Bangsa, 2023.
Prabowo Subianto, Paradoks Indonesia dan Solusinya, Media Pandu Bangsa 2021.
Roger L. Martin, “The Innovation Catalysts”, Harvard Business Review, June 2011.
Saul Mcleod, Ph.D., Transformational Leadership Style: How to Inspire and Motivate, SymplyPsychology, 2023.
Manuel Sosa, How Organisations Can Cultivate Innovation Catalysts, INSEAD, 15 Jan 2019.
Monica Sharma, Radical Transformational Leadership: Strategic Action for Change Agents, 2017.
Andrew Taylor, Rethinking Leadership for a Green World, 2022.
ST. Burhanuddin, Karakter Anti Korupsi Pemimpin Indonesia Masa Depan: Dalam Perspektif Business Judgement Rules, Program Executive Course on Strategic Management and Leadership Cohort-3 Universitas Pertahanan RI TA 2024.
Fadli Zon, Krisis Ekonomi 1998: Krisis Ekonomi atau Perang Ekonomi? Program Executive Course on Strategic Management and Leadership Cohort-3 Universitas Pertahanan RI TA 2024.
Harry M. Kraemer, Jr., From Values to Action: The Four Principles Values-Based Leadership, 2011.
Dave Ulrich, Jack Zenger, Norman Smallwood, Result-Based Leadership: How Leaders Build the Business and Improve the Bottom Line, 1999.
Paddy Miller & Thomas Wedell-Wedellsborg, Innovation as Usual: How to Help Your People Bring Great Ideas to Life, Harvard Business School Publishing Corp, 2013.
Kai-Fu Lee & Chen Qiufan, AI 2041: Ten Visions for Our Future, Penguin Random House LLC, 2024.
Mary C. Murphy, Cultures of Growth: How the New Science of Mindset Can Transform Individuals, Teams and Organisations, Simon & Schuster, 2024.
Scott D. Anthony, Eat, Sleep, Innovate: How to Make Creativity an Everyday Habit Inside Your Organization, Harvard Business Review Press, 2020.
Mike Paton & Lisa González, Process! How Discipline and Consistency Will Set You and Your Business Free, 2022.
Geoffrey Jones, Deeply Responsible Business, Harvard Business Review Press, 2023.
Rasmus Hougaard & Jacqueline Carter, Compassionate Leadership: How to do Hard Things in a Human Way, 2021.
Latha Poonamallee (ed.), Socio-Tech Innovation: Harnessing Technology for Social Good, Palgrave Macmillan, 2020.
Kaihan Krippendorff, Driving Innovation from Within: A Guide for Internal Entrepreneurs, Columbia Business School Publishing, 2019.
Roger L. Martin, “The Innovation Catalysts”, Harvard Business Review, June 2011.
Daniel Huber, Heiner Kaufmann, Martin Steinmann, Bridging the Innovation Gap: Blueprint for the Innovative Enterprise, Springer International Publishing, 2017.
Andy Ellis, 1% Leadership: Master the Small, Daily Improvements that Set Great Leaders Apart, Hachette Go, 2023.
Francesca Gino, Rebel Talent: Why It Pays to Break the Rules at Work and in Life, Dey Street Books, 2018.
Rob Elkington, Visionary Leadership in a Turbulent World: Thriving in the New VUCA Context, Emerald Publishing Limited, 2017.
Harvard Business School, Top 4 Business Challenges Requiring Leadership Development in the Next Year, Harvard Business Publishing, 2023.
Jean-François Manzoni, et.all., Seven Leadership Trends to Focus On in 2024, IMD, 2024.
Leave a Comment