Hikmah Ramadhan menjadi sumber inspirasi penulisan Spiritual Innovation Framework, bertepatan saat penulis melaksanakan ibadah Umrah, kemudian pada 7 Februari 2024 sekaligus kunjungan di Wadi Technological Complex kampus Umm Al-Qura University Mekkah Arab Saudi, berdiskusi tentang tren dan ekosistem inovasi teknologi di tanah suci.
Bahwa manusia adalah mahluk yang paling sempurna dan paling tinggi derajatnya dibandingkan dengan makhluk lain. Hal ini tertuang dalam hadits Qudsi yang menyatakan bahwa Allah SWT tidak menciptakan mahluk yang lebih mulia daripada akal-pikiran yang diberikan-Nya kepada manusia.
Apabila manusia mengabaikan petunjuk Allah, tidak menggunakan hati, mata, dan telinga sebagaimana mestinya, ia bisa jatuh ke dalam posisi yang serendah-rendahnya.
Berikut bacaan surat Ali Imran 139:
وَلَا تَهِنُوا۟ وَلَا تَحْزَنُوا۟ وَأَنتُمُ ٱلْأَعْلَوْنَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
Wa lā tahinụ wa lā taḥzanụ wa antumul-a’launa ing kuntum mu`minīn
Artinya: “Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.”
Referensi
Saul Mcleod, Ph.D., Transformational Leadership Style: How To Inspire And Motivate, Simply Psychology, 2024.
Alise Cortez, The Great Revitalization: How Activating Meaning and Purpose Can Radically Enliven Your Business, Practical Inspiration Publishing, 2023.
Fredrik Albritton Jonsson & Carl Wennerlind, Scarcity: A History from the Origins of Capitalism to the Climate Crisis, Massachusetts: Harvard Business Review Press, 2023.
Geoffrey Jones, Deeply Responsible Business: A Global History of Values-Driven Leadership, Massachusetts: Harvard Business Review Press, 2023.
Alan M. Patterson, Burn Ladders. Build Bridges: Pursuing Work With Meaning + Purpose, Business Expert Press, 2022.
Alessio Terzi, Growth for Good: Reshaping Capitalism to Save Humanity from Climate Catastrophe, Massachusetts: Harvard Business Review Press, 2022.
Andrew J. Hoffman, Management as a Calling: Leading Business, Serving Society, California: Stanford University Press, 2021.
Fred Reichheld, Winning on Purpose: The Unbeatable Strategy of Loving Customers, Harvard Business Review Press, 2021.
Hubert Joly, The Heart of Business: Leadership Principles for the Next Era of Capitalism, Massachusetts: Harvard Business Review Press, 2021.
Harvard Business Review, HBR’S 10 Must Reads: On Strategy (vol. 2), Massachusetts: Harvard Business Review Press, 2020.
Lynn S. Paine, Herman B. Leonard, & Joseph L. Bower, Capitalism at Risk: How Business Can Lead, Massachusetts: Harvard Business Review Press, 2020.
Michael Raynor & Derek Pankratz, A New Business Paradigm to Address Climate Change, Deloitte Insights, Oct, 2020.
Jake Knapp, Sprint: How to Solve Big Problems and Test New Ideas in Just Five Days, New York: Simon & Schuster, 2016.
Chris Anderson, Makers: The New Industrial Revolution, New YorkL Crown Business, 2012.
Dari petikan ayat suci Al-Qur’an di atas, penulis terinspirasi untuk merumuskan spiritual innovation. Inovasi yang berlandaskan nilai-nilai spiritualitas agar bisa memberikan meaning dan purpose. Mengapa ide ini muncul? Dari pengamatan penulis terhadap para pakar dari Harvard Business School yang beberapa tahun terakhir kerap meluncurkan buku tentang bahayanya ancaman kerakusan (kapitalisme) yang eksploitatif terhadap keberlanjutan (sustainability) bumi. Diantaranya adalah Deeply Responsible Business: A Global History of Values-Driven Leadership (2023) oleh Geoffrey Jones, Scarcity: A History from the Origins of Capitalism to the Climate Crisis (2023) oleh Fredrik Albritton Jonsson & Carl Wennerlind, Growth for Good: Reshaping Capitalism to Save Humanity from Climate Catastrophe oleh Alessio Terzi (2022), The Heart of Business: Leadership Principles for the Next Era of Capitalism (2021) oleh Hubert Joly, dan Capitalism at Risk: How Business Can Lead (2020) oleh Lynn S. Paine, dkk.
“Dari petikan ayat suci Al-Qur’an, penulis terinspirasi untuk merumuskan spiritual innovation. Inovasi yang berlandaskan nilai-nilai spiritualitas agar bisa memberikan meaning dan purpose.”
~ Achmad Soegiarto ~
Para pakar telah menemukan cara baru memperbaiki sistem agar dapat terus berlanjut sebagai solusi peradaban manusia. Misalnya Geoffrey Jones dalam Deeply Responsible Business (2023) mengingatkan tentang higher responsible terhadap konsumen, komunitas lingkungan, dan pekerja. Alessio Terzi dalam Growth for Good (2022) menggagas green capitalism untuk mendorong agar pelaku bisnis peduli terhadap keberlanjutan. Hubert Joly dalam The Heart of Business: Leadership Principles for the Next Era of Capitalism menyebutkan tentang pentingnya human strategic dan green capitalism sebagai prinsip yang harus dipegang organisasi bisnis. Dan, Lynn S. Paine, Herman B. Leonard, & Joseph L. Bower dalam Capitalism at Risk (2020) telah memperingatkan tentang bahaya kerusakan lingkungan dan ketidakmerataan bisa menjadi bom waktu yang tiba-tiba bisa meledak.
Salah satu pendapat menarik adalah Geoffrey Jones yang melalui studi sejarah menawarkan bahwa organisasi bisnis telah lama banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai dan spiritualitas. Dengan menawarkan perspektif sejarah yang sangat berharga, Geoffrey Jones menampilkan profil para pemimpin bisnis dari seluruh dunia yang menggabungkan keuntungan dengan tujuan sosial untuk menghadapi kesenjangan, kerusakan dalam kota, dan degradasi ekologi, sambil menerapkan undang-undang yang membatasi dan rezim otoriter. Contohnya, George Cadbury dan solidaritas pekerja di Edward Filene.
Jones menemukan bahwa para pemimpin perusahaan seringkali termotivasi oleh nilai-nilai dasar (values) dan didorong oleh keyakinan (faith) atau spiritualitas. Ia menyebutnya dengan istilah higher responsible atau tanggung jawab yang lebih tinggi, melampaui kepentingan profit semata. Mereka memilih untuk beroperasi di bidang yang produktif secara sosial, berinteraksi dengan rendah hati dengan para pemangku kepentingan, dan merasa berkewajiban untuk mendukung komunitas mereka. Meskipun jauh dari sempurna—beberapa menggabungkan praktik visioner dengan kelemahan penting—masing-masing menunjukkan bahwa keuntungan dan tujuan dapat diselaraskan. Banyak dari bisnis mereka yang sangat sukses—meskipun kesuksesan finansial bukanlah satu-satunya tolok ukur pencapaian mereka.
Dari sini, penulis tercetus tentang pentingnya spiritual innovation. Dari studi yang kami lakukan, misalnya dalam buku Cole NeSmit Spiritual Innovation (2014), Spiritual Innovation ialah aktivitas menyediakan nilai (value) baru bagi konsumen yang memberi imbal hasil memuaskan untuk perusahaan, dengan memperhatikan dimensi nilai-nilai spiritualitas. Spiritualitas diartikan sebagai tentang kesadaran menghormati keterhubungan (interconnectedness) segala sesuatu, diri sendiri dengan orang lain, dengan lingkungan, energi kosmis, dan mistri yang disebut banyak orang sebagai kekuatan kehidupan yang lebih tinggi, Tuhan.
Koneksi ini dapat menjadi sumber kekuatan makna (meaning) dan tujuan (purpose) yang menginspinrasi cara-cara baru dalam inovasi. Inovasi berbasis nilai-nilai spiritual itu termanifestasikan dalam mindset dan cara, pengembangan produk baru untuk isu-isu sosial, dan penemuan produk/layanan baru untuk kebutuhan masyarakat serta keberlanjutan (sustainability) lingkungan. Mengapa spiritual innovation itu penting? Dalam kaitan dengan keberlanjutan (sustainability), inovasi yang selama ini dipandang sebagai engine of growth untuk menghasilkan produktivitas, perlu mengadopsi green innovation ataupun spiritual innovation.
“Inovasi berbasis nilai-nilai spiritual itu termanifestasikan dalam mindset dan cara, pengembangan produk baru untuk isu-isu sosial, dan penemuan produk/layanan baru untuk kebutuhan masyarakat serta keberlanjutan (sustainability) lingkungan.”
~ Achmad Soegiarto ~
Spiritual Innovation Framework
Spiritual innovation framework adalah metodologi Sprint+ yang terdiri dari dua bagian besar, yang kami kembangkan berdasarkan pengalaman dan studi literatur. Dengan kata lain, Sprint+ itu terdiri dari bagian atas dan bawah. Pertama, growth mindset yakni bagian atas yang terdiri dari embracing the future, leadership, dan leading purpose. Ketiga hal ini sesungguhnya merupakan cara berpikir bagaimana melahirkan inovasi melalui pembentukan kepemimpinan hari ini dengan melihat cakrawala masa depan, transformational leader yang mampu leader creates leader, dan leading purpose untuk melahirkan the centennials. Kedua, growth way adalah cara melahirkan inovasi melalui metode MAKERS yang dimulai dari pemetaan pasar hingga market test, dan think big atau great leap, great move.
Pertama, embracing the future itu start from the end. Seperti telah ditulis pada artikel sebelumnya, embracing the future adalah upaya melahirkan kepemimpinan di hari ini harus melihat apa yang akan terjadi di masa depan. Berawal dari akhir. Artinya, jika kita ingin membentuk pemimpin hari ini yang mampu mendorong lahirnya inovasi, ia harus menerawang tahun 2045 dan 2060. Tahun 2045 adalah titik momen 100 tahun kemerdekaan Indonesia dengan mendorong lahirnya para inovator untuk menciptakan kemandirian. Dan, tahun 2060 adalah momen target menyelamatkan lingkungan dengan upaya net zero emissions, sehingga inovasi yang didorong berkaitan dengan dekarbonisasi. Dengan melihat cakrawala waktu ke depan, maka pemimpin hari ini diharapkan bisa melahirkan inovasi untuk masa depan.
Tahun 2045 adalah titik momen 100 tahun kemerdekaan Indonesia dengan mendorong lahirnya para inovator untuk menciptakan kemandirian. Dan, tahun 2060 adalah momen target menyelamatkan lingkungan dengan upaya net zero emissions, sehingga inovasi yang didorong berkaitan dengan dekarbonisasi. Dengan melihat cakrawala waktu ke depan, maka pemimpin hari ini diharapkan bisa melahirkan inovasi untuk masa depan.
~ Achmad Soegiarto ~
Kedua, leadership itu leader creates leader. Transformational leadership. Mendorong pembentukan kepemimpinan dengan corporate culture dan intellectual stimulus untuk menghasilkan inovasi. Ketika menginisiasi ide “1 mahasiswa, 1 karyawan, 1 inovasi”, penulis sesungguhnya ingin mendorong terciptanya mesin leader creates leaders, agar mampu menghasilkan pemimpin transformatif (transformational leader), seperti diungkapkan Saul Mcleod, Ph.D., dalam tulisannya Transformational Leadership Style: How To Inspire And Motivate (2023). Transformational leader akan mampu pacu inovasi.
Ketiga, leading with purpose itu the centennial. Mereka adalah perusahaan yang hidup lebih dari 100 tahun karena didorong oleh purpose. Menurut Fred Reichheld dalam buku Winning on Purpose (2021), purpose didefinisikan sebagai tujuan akhir yang hendak dicapai organisasi perusahaan. Kepemimpinan, strategi yang digunakan, karyawan, teknologi ataupun model bisnis boleh silih-berganti, tetapi purpose harus menjadi pegangan dan kompas dalam organisasi perusahaan. Misalnya, strategi boleh berganti mengikuti situasi dan adaptasi terhadap keadaan yang ada, tetapi purpose adalah misi end-goal yang dijadikan kompas sebagai panduan menyusun strategi. The centennials mampu hidup lebih dari 100 tahun karena purpose.
Keempat, MAKERS itu sprint innovation. Seperti ditulis oleh Jake Knapp dalam bukunya Sprint: How to Solve Big Problems and Test New Ideas in Just Five Days (2016) bahwa proses penciptaan inovasi bisa dilakukan dalam waktu relatif pendek yakni 5 hari. Ini dimulai dari memetakan target pasar (MAp), menciptakan sketsa (SKetch), memilih yang terbaik (DecidE), membuat prototipe (PRototype), dan mengujicobakan produk ke target pasar (TeSt). Bila disingkat menjadi MAKERS. Dengan demikian, mahasiswa memiliki waktu yang tidak lebih dari seminggu untuk meluncurkan produk ke pasar.
Kelima, think big itu big leap, great move. Lompatan/berpikir besar, pergerakan/berkontribusi besar. Think big mendorong organisasi untuk menghasilkan inovasi yang bermanfaat luas. Beberapa permasalahan indeks tentang SDM bisa menjadi pemicu untuk berpikir besar, dan bergerak besar. Begitupun perubahan iklim. Michael E. Raynor & Derek Pankratz berpendapat bahwa krusialnya perubahan iklim telah memicu korporat memiliki kewajiban (obligation) untuk turut berkontribusi menanggulanginya, sekaligus menjadi peluang untuk dapat berkembang berkelanjutan (sustainble). “No matter what industry a business is in or which customers it serves, averting catastrophic levels of planetary warming presents leaders with both an obligation and an opportunity,” tulis Michael Raynor & Derek Pankratz dalam whitepaper A New Business Paradigm to Address Climate Change pada Deloitte Insights (Oct, 2020).
Start from 5Ps
Beberapa bulan lalu, penulis tentang pentingnya innovation sprint untuk mengejar Indonesia mencapai 2045 (100 tahun kemerdekaan RI) dan 2060 (net zero emission). Innovation sprint adalah metode melahirkan inovasi dalam jangka waktu pendek agar semakin cepat diwujudkan, bergerak lincah (agile), tidak takut gagal (fail-fast), tak surut belajar hal baru (learn-unlearn-relearn), dan yang utama terus melakukan improvisasi (continuous improvement).
Dalam hal ini, penulis menilai bahwa inovasi harus dilakukan secara cepat, dan memperhatikan 5P yakni people, planet, profit, power, dan pray sehingga menjadi kemaslahatan manusia. Ke-5P ini mengandung unsur keberlanjutan lingkungan, kemanusiaan, finansial sebagai kelangsungan hidup organisasi, kekuatan kolaborasi bersama negara, dan nilai-nilai spiritualitas sebagai fondasi. Salah satu elemen dari 5P adalah PRAY, yakni pentingnya nilai-nilai spiritualitas di dalam melakukan inovasi.
Seperti Alessio Terzi dari Harvard University dalam Growth for Good (2022) bahwa agar inovasi tidak menjadi mesin ekonomi yang menghalalkan segala cara untuk menghasilkan value, maka inovasi perlu didorong memperhatikan nilai-nilai dan keberlanjutan. Dalam hal ini, pendapat penulis sama dengan Alessio Terzi bahwa inovasi perlu diberi rambu-rambu agar menghasilkan kemaslahatan. Dalam hal ini, penulis menitikberatkan pada nilai-nilai spiritualitas.
Ini seperti yang diungkapkan oleh Andrew J. Hoffman dalam Managament as Calling (2021) yang diterbitkan Stanford Business Books. Ia berpendapat bahwa di tengah perubahan besar-besaran di pasar dibutuhkan sesuatu prinsip-prinsip (principles) agar terus berlanjut. Nilai-nilai dan keyakinan spiritualitas menjadi salah satu sumber inspirasi prinsip untuk menjaga keberlanjutan. Oleh karena itu, sejak tahun lalu, penulis yakin bahwa elemen pray dalam inovasi itu penting. Inilah yang disebut sebagai spiritual innovation.
Di tengah perubahan besar-besaran di pasar dibutuhkan sesuatu prinsip-prinsip (principles) agar terus berlanjut dan bermanfaat. Nilai-nilai dan keyakinan spiritualitas menjadi salah satu sumber inspirasi prinsip untuk menjaga keberlanjutan. Oleh karena itu, penulis yakin bahwa elemen pray dalam inovasi itu penting. Inilah landasan spiritual innovation.
~ Achmad Soegiarto ~
MAKERS
Penulis percaya bahwa inovator adalah makers (pembuat yang kreatif). Istilah ini cukup populer ketika Chris Anderson menulis Makers: The New Industrial Revolution (2014). Para makers ini didorong oleh budaya sharing dan kolaborasi yang memungkinkan orang untuk menulis dan memodifikasi perangkat lunak agar sesuai dengan kebutuhan mereka secara gratis, alih-alih memproduksi program yang bersifat massal dan universal yang tidak selalu memenuhi kebutuhan pengguna. Seperti desain kursi dan sofa yang masyarakat secara aktif merancang hal-hal yang sebelumnya tidak tersedia dan menjadikannya tersedia untuk orang lain. Lalu siapa pun yang memiliki pengetahuan dapat memodifikasi file dan memperbaikinya.
Tetapi, lebih dari itu, penulis percaya bahwa spiritual innovation dapat dilakukan dengan cepat atau innovation sprint. Seperti ditulis oleh Jake Knapp dalam buku Sprint: How to Solve Big Problems and Test New Ideas in Just Five Days (2016) bahwa proses penciptaan inovasi bisa dilakukan dalam waktu relatif pendek yakni 5 hari. Ini dimulai dari memetakan target pasar (Map), menciptakan sketsa (Sketch), memilih yang terbaik (Decide), membuat prototipe (Prototype), dan mengujicobakan produk ke target pasar (Test). Dengan demikian, mahasiswa memiliki waktu yang tidak lebih dari seminggu untuk meluncurkan produk ke pasar.
“Innovation sprint itu penulis sebut sebagai MAKERS. MAp, SKetch, DecidE, PRototype, dan TeSt. Dengan metode ini, diharapkan akan lahirnya spiritual innovation yang turut berkontribusi menciptakan keberlanjutan bagi masa depan manusia dan bumi.
~ Achmad Soegiarto ~
Proses ke-5 hari innovation sprint itu penulis rangkum menjadi MAKERS. MAp, SKetch, DecidE, PRototype, dan TeSt. Dengan metode ini, diharapkan akan lahirnya spiritual innovation yang turut berkontribusi menciptakan keberlanjutan bagi masa depan manusia dan bumi.
Kesimpulan Dari paparan di atas, penulis dapat simpulkan bahwa spiritual innovation itu penting untuk menghasilkan bisnis yang lebih baik. Nilai-nilai spiritual dapat menjadi inspirasi mahasiswa, karyawan, entrepreneur, dan korporasi untuk menghasilkan inovasi. Spiritual innovation framework adalah guindance agar inovasinya berdampak (impactful), keberlanjutan (sustainability), dan bermakna (meaningful). Untuk itu, penulis yakin tidak cukup 3P (planet, people, profit), melainkan inovasi digerakkan oleh 5P (planet, people, profit, pray, power). Caranya menghasilkan inovasi itu dengan MAKERS. Let’s becoming MAKERS. []
Achmad Soegiarto
Asia Education Award Winner in Two Categories 2023; Satyalencana Wirakarya Presiden RI 2016; Chief Strategy Officer 2019-2023; Penulis Synergy Way of Disruption (2018) & Synergy Way of Ecosystem Collaboration (2022), Founder Sprint+ (now), Business Innovation Catalysator (now), Business Ecosystem Practitioner 2022~now.
Leave a Comment