Climate, Energy, Ecosystem & Sustainability: Indonesia 2060
Achmad Soegiarto, Chief Strategy Officer Kalla Group
Green leadership adalah istilah yang dalam beberapa tahun terakhir berkembang sebagai upaya membentuk kepemimpinan berwawasan lingkungan untuk merespons perubahan iklim (climate change) yang terjadi saat ini dan ke depan. Menurut Andrew Taylor dalam Rethinking Leadership for a Green World (2022) bahwa perubahan iklim telah memaksa manusia untuk mengubah perilakunya demi keberlanjutan (sustainability).
Akibatnya, pola konsumsi dan perilaku membeli mereka pun berubah. Maka, mau tak mau, pelaku bisnis pun dipicu untuk berbenah. Menurut Andrew, perubahan tidaklah sekadar dalam bentuk corporate social responsibility semata, melainkan mulai dari proses penciptaan nilai (value creation) hingga pada ujung produk (end-products) yang disajikan pada konsumen. Maka, perubahan ini dimungkinkan terjadi bila praktek gaya kepemimpinan di organisasi perusahaan pun berubah. Karena, mesin kepemimpinan (the leadership engine) memegang peranan kunci menjalankan organisasi perusahaan untuk menciptakan dan memberi nilai kepada konsumen. Perubahan dimulai dari proses penciptaan nilai (value creation) hingga pada ujung produk (end-products) yang disajikan pada konsumen.Achmad Soegiarto
Pada tulisan sebelumnya, penulis telah menyinggung tentang kehebatan the centennial menjadi entitas bisnis yang survive dalam waktu lama. Menurut hemat penulis, untuk bertahan lama hingga hari ini, para the centennials ini mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan bisnisnya, di mana salah satunya ialah perubahan iklim. Misalnya, GE telah mengembangkan new power generation sejak sepuluh tahun terakhir untuk menghasilkan sumber energi ramah lingkungan demi keberlanjutan bumi dan entitas bisnis mereka sendiri.
Di Indonesia sendiri, Pemerintah memiliki target bahwa tahun 2060 berkomitmen menjadi anggota G20 yang mencapai net zero emission. Dan, dalam beberapa tahun belakangan, Kementerian Linkungan Hidup kerap memberi penghargaan bagi perusahaan yang telah mempraktekkan green leadership di dalam operasional bisnisnya. Dengan demikian, Pemerintah telah mendorong untuk lahirnya para green leadership champions.
Bagaimana perusahaan dapat untuk mengembangkan green leadership di dalam organisasinya? Penulis melihat tiga prinsip penting untuk dilakukan organisasi perusahaan, yakni mengembangkan kepemimpinan berbasis nilai-nilai (values-based leadership) berwawasan lingkungan, gaya kepemimpinan yang menekankan penerapan nilai ke dalam hasil (result-based leadership), dan adanya perubahan iklim menjadi ajang momentum baru (new momentum) untuk penciptaan mesin pertumbuhan baru (new engines) dalam memenuhi kebutuhan solusi bagi masyarakat ke depan.
#1 Values-Based Leadership
Menurut Harry M. Kraemer, Jr., values-based leadership adalah gaya kepemimpinan yang ditopang oleh keyakinan terhadap nilai-nilai untuk menciptakan performa di dalam tim. Sederhananya, Harry dalam buku From Values to Action: The Four Principles Values-Based Leadership (2011) menjelaskan bahwa nilai-nilai yang diyakini perusahaan dapat menjadi landasan untuk membentuk budaya kerja di dalam organisasi sesuai dengan nilai-nilai di perusahaan. Dalam hal ini, green leadership menekankan pentingnya nilai-nilai wawasan pro-sustainability menjadi bagian dalam corporate values.
Misalnya, di industri pangan, John Mackey dikenal sebagai figur pemimpin yang pro-sustainability terhadap lingkungan, fair trade, dan kesehatan masyarakat. Kesuksesan Whole Foods tidaklah lepas dari gaya kepemimpinan berwawasan lingkungan John dalam membangun bisnisnya yang peduli terhadap isu pangan, kualitas pangan, kesehatan masyarakat, dan kesejahteraan petani. Whole Foods pun menjadi role model yang dinilai sukses menjaga keseimbangan antara planet, people, dan profit.
#2 Result-Based Leadership
Bila values-based leadership menyandarkan pada nilai-nilai, maka cara kerja mengukur dan menelusuri dari nilai ke kinerja, penulis berpendapat pentingnya result-based leadership. Konsep ini dikemukakan oleh Dave Ulrich, Jack Zenger, Norman Smallwood, dalam bukunya Result-Based Leadership: How Leaders Build the Business and Improve the Bottom Line (1999). Menurut pakar kepemimpinan dari Harvard Business School itu, result-based leadership adalah cara membentuk kepemimpinan yang bersandarkan pada tujuan pencapaian. Gol akhir menjadi panduan dalam pengembangan kepemimpinan. Misalnya, perusahaan memiliki target yang sama diinisiasi Pemerintah untuk mencapai nol emisi Indonesia di 2060.
Umpamanya, perusahaan software Jerman ternama SAP berkomitmen untuk mengurangi emisi dari tahun 2000 hingga 2020. Inisiatif ini bukanlah sekadar untuk mempercantik imej perusahaan, melainkan komitmen kepedulian terhadap lingkungan. “It’s not just about following laws or working with environmental groups. Sustainability is now being integrated across the organization; it’s an important part of growth strategies. Businesses get it now. They know they need to be at the forefront,” papar Eric Orts, profesor studi hukum dan direktur Initiative for Global Environmental Leadership (IGEL) Wharton Business School. Menurutnya, komitmen ini membuahkan hasil yakni perusahaan telah melakukan efisiensi biaya hingga 190 juta Euro sejak 2000-2011. Sustainability is now being integrated across the organization; it’s an important part of growth strategies. Businesses get it now. They know they need to be at the forefront.Eric Orts
#3 New Momentum, New Engines
Di beberapa negara Barat, perubahan iklim ini menjadi momentum baru untuk menciptakan peluang. Untuk itu, tidak heran, bagi banyak perusahaan di Eropa dan Amerika, perubahan iklim adalah business opportunity. Ada beberapa sektor yang industri yang punya potensi bisnis yakni renewable energy sources in electricity production, infrastructure sector-energy efficiency in buildings, financial sector and the carbon markets, insurance sector, organic farming, biofuels, food & beverage industry, telecommunications, tourism, dan lainnya. Perubahan iklim adalah momentum baru untuk menyiapkan mesin pertumbuhan baru bagi pemain inkumben.Achmad Soegiarto
Oleh karena itu, perubahan iklim adalah momentum baru untuk menyiapkan mesin pertumbuhan baru bagi pemain inkumben. Sejak sepuluh tahun terakhir, banyak perusahaan global telah menyiapkan peta jalan (roadmap) untuk memanfaatkan perubahan iklim sebagai peluang bisnis agar mereka bisa survive hingga beberapa puluh tahun ke depan. Mesin baru ini dapat diartikan kemamapuan organisasi agar terus adaptif. Ia mampu berpikir secara jangka panjang, dapat mendeteksi perubahan, dan mendorong transformasi agar tetap mampu relevan di masanya. Contohnya, sejak 2021, Citi Bank meluncurkan pembiayaan proyek ramah lingkungan penggunaan teknologi rendah karbon, termasuk bioenergy; carbon capture, utilization, and sequestration; direct air carbon capture; hydrogen; renewable energy; dan renewable natural gas. Dengan cara ini, Citi Bank dikenal sebagai perbankan yang punya reputasi dalam pembiayaan pro-sustainability.
Leave a Comment