Synergy Way of Ecosystem Collaboration

Meskipun konsep ekosistem bisnis sudah lama berkembang, tetapi justeru kita menyaksikan konsep ini kian penting seiring naiknya kesuksesan para pelakunya dengan mendominasi pasar. Misalnya, dalam daftar pemain besar menurut versi The Global Forbes (2022), beberapa diantaranya adalah perusahaan yang besar karena ekosistem atau telah transformasi ke arah sana. Begitupun Fortune 500 (2022), didominasi oleh platform ekosistem. Untuk itu, tak mengejutkan bila menurut proyeksi McKinsey bahwa 25% perekonomian dunia bakal didominasi oleh platform ekosistem pada tahun 2030. Contoh sederhananya, di urusan transportasi, hampir separuh armada darat di kota-kota besar diramaikan oleh pemain ride-hailing platform. Begitu juga di urusan keuangan, sebagian besar anak muda menggunakan platform payment gateway milik pemain startup. Dan, tampaknya sektor-sektor lain akan disusul didominasi oleh pemain platform.

Atas dasar fenomena ini, saya mendorong agar perusahaan yang sudah mapan (incumbent players) untuk berbenah menghadapi para pemain ekosistem ini. Jika tidak transformasi, bukan tidak mungkin pangsa pasar pemain lama digerogoti oleh pemain baru, yang seringkali tidak terdeteksi asal kedatangannya. Dan, serangan pesaing baru ini bisa lebih kejam daripada pesaing lama. Kita masih ingat dahulu bagaimana industri transportasi umum diguncang oleh ride-hailing platform. Kurang lebih sama terjadi di industri pariwisata, para pemain lama mau tidak mau mengikuti ketentuan yang dijalani pemain baru. Dengan demikian, pangsa pasar inkumben pun bisa tiba-tiba hilang.

Lalu, bagaimana agar pemain inkumben bisa berbenah menghadapi pemain ekosistem ini? Saya menyebutnya sebagai synergy way of ecosystem collaboration (SWEC), yakni cara pemain inkumben memperbesar pangsa pasar dengan bersinergi dan mengorkestrasi segala sumberdaya untuk menciptakan kolaborasi dalam ekosistem yang saling menguntungkan. Sebagai kelanjutan dari Synergy Way of Disruption (SWOD) yang saat itu fokus untuk menghadapi produk-produk disruptif, maka SWEC ini didesain agar inkumben dapat menjadi pemain ekosistem.

Synergy way of ecosystem collaboration (SWEC) adalah cara pemain inkumben memperbesar pangsa pasar dengan bersinergi dan mengorkestrasi segala sumberdaya untuk menciptakan kolaborasi dalam ekosistem yang saling menguntungkan.Achmad Soegiarto

Selama dua tahun ini, saya mengamati bahwa produk disruptif tidaklah cukup untuk bisa memperbesar pangsa pasar. Kita masih ingat, beberapa tahun lalu, banyak inkumben melahirkan produk/layanan disruptif untuk menghadapi pemain startup. Tetapi, sayangnya, produk/layanan yang dilahirkan itu tidak berhasil menguasai pasar. Contohnya, dahulu para pemain telekomunikasi berlomba-lomba mengembangkan e-commerce seperti Blanja (Telkom), Cipika (Indosat) dan Elevania (XL), tetapi mereka layu sebelum tumbuh. Mengapa mereka mati sebelum berkembang? Menurut saya, tidak berkembangnya e-commerce di atas bukanlah karena faktor kapabilitas digital atau kucuran biaya promosi. Cukup jelas bahwa para pemain telekomunikasi sangat jago di dalam digital dan punya modal besar. Tetapi, yang membuat e-commerce ciptaan mereka layu ialah karena tidak berhasil mengembangkan marketplace menjadi ekosistem yang dibutuhkan sehari-hari oleh masyarakat.

Mengukur Ekosistem

Untuk mengetahui sejauhmana transformasi yang dilakukan oleh inkumben telah masuk dalam platform ekosistem atau belum, kita bisa meminjam matriks dari Laure Claire Reillier & Benoit Reillier. Ada dua variabel dalam memetakan bagaimana inkumben bergerak menjadi pemain ekosistem. Pertama, secara vertikal yakni dari pergeseran dari fisik ke digital. Umumnya, ini terjadi di awal-awal proses transformasi digitalisasi. Kedua, dari tradisional (linear) yaitu pengelolaan perusahaan dengan upaya mengontrol sendiri ke arah multiplatform dimana pertumbuhan dapat dikelola bersama mitra. Menurut Laure Claire Reillier & Benoit Reillier, umumnya matriks ini menunjukkan empat pola arah.

Pertama, panah nomor 1 menunjukkan terjadinya transformasi digitalisasi, yang biasanya terjadi saat menghadapi masa-masa disrupsi di fase awal. Dalam hal ini, mereka berpikir bahwa untuk mampu bersaing, kapabilitas digital seperti teknologi harus ditingkatkan. Namun, kini mereka menyadari bahwa digitalisasi saja tidak cukup. Ini baru di tahap memenuhi kebutuhan efisiensi.

Untuk itu, kedua, tanda panahnya menunjukkan keinginan inkumben untuk masuk ke dalam kuadran platfrom digital. Dalam hal ini, digitalisasi yang telah mereka lakukan didorong untuk menciptakan ekosistem agar bisa mempertemukan banyak pihak (multi-sided). Contohnya, Alfamart yang awalnya beroperasi sebagai toko penyedia kebutuhan semata, kini perusahaan retail itu berubah menjadi platform digital. Secara operasi, berkolaborasi dengan banyak pihak, ia menyediakan segala kebutuhan konsumen seperti ticketing, pembayaran tagihan, top-up e-wallet atau e-money, dan lainnya. Dengan aplikasi Alfagift, konsumen bisa mengakses sebagian besar layanannya dalam satu platform.

Ketiga, panahnya menunjukkan ke arah keinginan inkumben untuk lompat secara langsung ke kuadran kanan atas yakni platform digital. Ini disadari bahwa untuk mampu bersaing dengan pemain startup hanya bisa dilakukan dengan platform digital. Contohnya ialah maskapai penerbangan AirAsia, yang semula bergantung pada platform digital pihak lain (online travel agent) untuk memperbesar pangsa pasarnya, kini ia memilih untuk mengembangkan ekosistem bisnis perjalanan wisata (travel) dan berkolaborasi dengan banyak pemain dalam platform digital. Dengan bertransformasi ke platform digital ekosistem, melalui aplikasinya AirAsia Super-App, konsumen bisa memesan food delivery, transaksi dengan fintech lending, mencari penginapan, membeli oleh-oleh, dan lainnya.

Keempat, transformasi ekosistem yang sudah berkembang secara fisik, lalu bertransformasi menjadi platform digital. Contohnya ialah iGrow. Selama ini, petani mendapatkan pinjaman dari bank, koperasi ataupun perseorangan untuk memenuhi modal bertani. Melalui platform digital, iGrow mempertemukan antara pemberi pinjaman dengan pemilik lahan atau petani. Sebagai platform, iGrow mengelola dana pinjaman dari publik untuk di salurkan ke petani, dan mengelola bagi-hasil dari usaha investasinya. Dengan demikian, secara umum, platform ini berhasil untuk mengelola pihak yang tertarik berinvestasi dan mereka yang membutuhkan modal.

Rediscovery Konsep Ekosistem

Konsep mengenai ekosistem bisnis sendiri telah muncul sejak lama. Sejauh ini, konsep ekosistem bisnis muncul tatkala berhubungan dengan kluster industri, di mana membentuk jejaring dalam menghasilkan nilai bagi konsumen, yang mempertemukan antara supplier, konsumen dan penyedia produk/layanan dalam satu wilayah tertentu. Dalam bukunya Business Ecosystem (2015), Ke Rong & Yongjiang Shi menelusuri bagaimana perkembangan gagasan ekosistem bisnis sejak James F. Moore mencetuskan pada tahun 1990-an.

Ide ini berkembang hingga sejalan dengan perkembangan teknologi digital yang memungkinkan pengembangan platform untuk semakin terkoneksi, kolaborasi dan berkembang bersama (co-evolution). Dari tiga puluh definisi yang Ke Rong & Yongjiang Shi telusuri, kita bisa menemukan beberapa kata kunci penting yakni entitas bisnis, koneksi, jejaring, interaksi, mutualisme, co-evolution, dan platform. Dengan begitu, bisa disimpulkan bahwa ekosistem bisnis ialah entitas bisnis yang saling terkoneksi, berinteraksi mengembangkan inovasi bertujuan untuk berkembang bersama dalam platform.

Mengacu pada pengertian-pengertian ekosistem bisnis yang telah dikembangkan oleh para pakar, saya sendiri menggunakan istilah ecosystem collaboration. Perbedaannya, ekosistem bisnis mengacu pada upaya membangun jejaring dalam ekosistem untuk mengembangkan inovasi melalui crowdsourcing. Sementara, istilah ecosystem collaboration saya maksudkan sebagai cara untuk memperbesar pangsa pasar (market size) dengan mengembangkan ekosistem yang memungkinkan terjadinya kolaborasi untuk menghasilkan value baru secara bersama-sama. Dalam upaya pengembangan kolaborasi itu, maka diperlukan upaya merubuhkan mindset vertikal (hirarkis) yang ingin mengontrol sendiri ke arah horizontal (relasional) yakni mau bekerja bersama untuk menciptakan value. Dengan demikian, sederhananya, untuk memperbesar pangsa pasar, kita tidak bisa melakukan dan mengontrol sendiri, melainkan harus berkolaborasi. Oleh karena itu, saya menyebutnya sebagai synergy way of ecosystem collaboration (SWEC).

Untuk memperbesar pangsa pasar, kita tidak bisa melakukan dan mengontrol sendiri, melainkan harus berkolaborasi.Achmad Soegiarto

Pertanyaannya, bagaimana inkumben dapat bertransformasi menjadi pemain ecosystem collaboration? Untuk mendesain ekosistem kolaborasi, saya merumuskan tahapan dalam mengembangkan ekosistem ke dalam model di bawah ini. Terdapat empat tahapan yang harus dikembangkan pemain inkumben dalam mendesain ekosistem platform yakni enabler, realizer, orchestrator, dan experiencer. Proses ini bisa dilakukan dalam dua arah, tergantung bagaimana kita memulai prosesnya.

#1 Enabler

Enabler ialah cara membuka keran kerjasama dengan para pemain startup untuk bersama-sama berkontribusi mencapai common purpose. Dalam hal ini, pemain inkumben harus menyiapkan tata kelola organisasi yang terbuka, kultur inklusif (inclusive culture), teknologi open ecosystem yang memungkinkan terjadinya kolaborasi, dan model bisnis menarik agar bisa tercipta win-win partnership.

#2 Realizer

Realizer ialah upaya mengintegrasikan startup ecosystem ke dalam rantai nilai bisnis perusahaan inkumben, sehingga dapat memaksimalkan portofolio yang ada dan membesarkan potensi pasar saat ini (existing market) secara bersama-sama. Dalam hal ini, startup dapat berperan sebagai complementary yang dapat mengamplifikasi operasional yang telah berjalan. Sederhananya, ini adalah cara SWOD yang ditujukan untuk mengorkestrasi sumberdaya internal dan eksternal untuk menghasilkan value baru. Untuk itu, di tahap ini, pemain inkumben perlu memetakan portofolio bisnis, mengidentifikasi complementary dari startup ecosystem hingga merancang nilai baru. Untuk merancang nilai baru, diperlukan pemahaman perilaku konsumen yang mendalam, sehingga dibutuhkan optimalisasi customer database yang ada dari masing-masing unit bisnis atau anak perusahaan.

#3 Orchestrator

Orchestrator yakni kemampuan mengorkestrasi sumber daya internal (the core) dan eksternal (startup ecosystem) untuk menghasilkan value proposition dalam bentuk produk/layanan bagi konsumen yang diakses melalui platform digital atau aplikasi super. Secara umum, tugas orchestrator adalah mengidentifikasi masalah yang dihadapi pelanggan (customer’s pain) untuk menemukan solusinya, mendesain organisasi yang berorientasi pada nilai pengalaman pelanggan (the CX-centric organization), merancang service culture sebagai diferensiasi, dan memetakan customer journey.

#4 Experiencer

Secara sederhana, experiencer adalah orang yang merasakan dari pengalaman dari interaksi dan transaksi. Jika dahulu Bernd H. Schmitt memperkenalkan istilah experiential marketing dengan panca-indra, Simon David Clatworthy memperkenalkan experiential value proposition karena pengalaman interaksi di setiap touch point dalam customer journey. Mengapa platform eksostem dapat menghasilkan experiential value proposition? Dengan satu aplikasi untuk menyelesaikan banyak masalah, ini dapat menciptakan pengalaman berharga bagi pelanggan.

Post navigation

1 Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *