SPRINT+ Behavior

Ketika membaca buku AI 2041: Ten Visions for Our Future (2024) karya Kai-Fu Lee dan Chen Qiufan, ternyata kita sudah melewati empat wave perkembangan AI, yaitu (wave 1) internet AI 2010; (wave 2) business AI 2014; (wave 3) perception AI 2016; (wave 4) autonomous AI 2018. Padahal rasanya kita baru mengalami “AI bubbles”. Kai-Fu Lee justeru melihat lebih jauh abad 21 ke depan bahwa akan ada sepuluh tren di masa mendatang yang akan merevolusi kehidupan seperti contactless love, biometrics, deep learning, dan lainnya. Inilah bentuk tomorrow’s economy seperti diungkapkan Per Espen Stoknes dalam bukunya itu (2021).

Untuk menghadapi tren ini, mau tidak mau kita harus memiliki culture of growth: bagaimana menciptakan dan mengembangkan growth mindset dalam budaya organisasi. Menurut Mary C. Murphy dalam bukunya Cultures of Growth: How the New Science of Mindset Can Transform Individuals, Teams and Organisations (2024) bahwa growth mindset dapat mentransformasi individu atau tim untuk mencapai sebuah breakthrough sekaligus mengeluarkan potensi masing-masing.

Bila kita belajar dari strategi peran Sun Tzu, growth mindset itu seperti indirect method. Sun Tzu pernah mengatakan bahwa dalam setiap pertempuran, metode serangan langsung dapat digunakan untuk bertempur, tetapi, indirect mehtod, dapat mengamankan kejayaan (victory). “In all fighting, the direct method may be used for joining battle, but indirect methods will be needed in order to secure victory,” ujar Sun Tzu.

Menurut hemat penulis, behavior itu untuk memenangkan peperangan. Ia adalah soft power yang mampu mengeluarkan potensi individu ataupun organisasi untuk menghadapi berbagai gelombang (wave). Karena itu, ketika penulis berpikir tentang SPRINT+ Behavior, yang penulis bayangkan adalah bagaimana ini tercermin pada logo SPRINT+ bagian atas. Dalam logo itu, ada unsur gelombang (wave), bentuk daun, dan lekukan daun. Sederhananya, filosofi ini menggambarkan bagaimana inovasi itu dilahirkan, dibentuk dan ditempa dari situasi bergelombang, dan dengan semangat atau SPRINT+ Behavior diharapkan mampu mencapai puncak kemenangan.

Jika sebelumnya penulis sudah menyampaikan tentang konsep SPRINT (Spriritual Innovation) yang terinspirasi saat ibadah umroh dan kunjungan ke Wadi Technological Complex kampus Umm Al-Qura University Mekkah Arab Saudi untuk berdiskusi tentang tren dan ekosistem inovasi teknologi di tanah suci. Pada momen Hari Raya Idul Adha lalu, penulis mendapatkan inspirasi bagaimana membentuk perilaku untuk menghasilkan inovasi yakni SPRINT+ Behavior.

SPRINT Behavior dirancang untuk membentuk perilaku inovatif.  Ia punya karakter untuk selalu mencari inovasi dalam setiap kesempatan apapun. Mengapa behavior itu penting? Penulis teringat satu buku menarik berjudul Eat, Sleep, Innovate: How to Make Creativity an Everyday Habit Inside Your Organization (2020) karya Scott D. Anthony, dkk. Penulis ini mengatakan pentingnya perilaku untuk menghasilkan inovasi dan kreativitas, yang ia sebut sebagai culture of innovation.

SPRINT Behavior dirancang untuk membentuk perilaku inovatif.  Ia punya karakter untuk selalu mencari inovasi dalam setiap kesempatan apapun.

Achmad Soegiarto

Menurut penulisnya, culture sendiri diatrikan sebagai “culture is what you do when the managers leave the room”. Ketika tidak ada bos di kantor, kita akan melihat perilaku karyawan aslinya. Itulah cutlure. Dengan kata lain, indikator melihat culture itu tidak semata-mata saat bekerja di kantor, melainkan apa yang dilakukan sehari-hari.

Maka, culture of innovation sendiri diartikan sebagai sesuatu perilaku yang dapat mendorong inovasi sukses secara alami (drive innovation success come naturally). Agar upaya menananmkan culture of innovation ini berhasil dan mendorong perilaku yang diinginkan, ini diperlukan suatu peretasan kebiasaan (hacking habits) melalui BEANs, yang terdiri dari behavior enablers, artifacts, and nudges.

Melihat pentingnya culture of innovation, penulis kali ini menguraikan SPRINT Behavior sebagai bentuk turunan dari konsepnya. Berdasarkan pengalaman dan studi literatur yang penulis lakukan, ada empat elemen dalam SPRINT+ Behavior, yakni ketaatan (consistentexecution), keikhlasan (sincere), kesabaran (perseverance), dan kasih sayang (compassionate)seperti terlihat pada model di bawah ini yang disebut sebagai Rumah 4K. Masing-masing elemen ini akan penulis kupas satu per satu.

#1 Ketaatan (Consistent Execution)

Bila diartikan, ketaatan adalah kepatuhan dan kesetiaan terhadap suatu hal yang dianggapnya penting. Dalam kaitan dengan pembentukan culture of innovation, ketaatan dapat diartikan sebagai bentuk kecintaan dan kepatuhan melakukan sesuatu agar inovasi yang diimpikan dapat terwujud yang Impactful. Maka, dengan kata sederhana, ketaatan adalah bentuk dari big think disciplined process

Mengapa disciplined process ini penting? Menurut Mike Paton & Lisa González dalam bukunya Process! How Discipline and Consistency Will Set You and Your Business Free (2022) mengatakan bahwa hampir 80% perusahaan startup gagal di 5 tahun pertama, 10% berhasil melewati fase 10 tahun, dan 10% sukses berlanjut. Besarnya faktor kegagalan ini dikarenakan oleh incosistent execution. Mereka tidak siap, kewalahan, frustasi dan tidak mampu mengelola kegiatannya. Semua hal itu berkaitan dengan proses.

Para pemimpin hebat terobsesi menerapkan disciplined process agar dapat menemukan cara yang benar dan terbaik, serta bekerja keras untuk menanamkan ketelitian dan disiplin agar pelaksanaannya konsisten (consistent execution). Dengan demikian, kesabaran adalah consistent execution.

Achmad Soegiarto

Seperti diungkapkan oleh penulis buku Good to Great (2001) Jim Collins, “Magic occurs when you blend a culture of discipline with an ethic of entrepreneurship,” ujarnya. Menurutnya, keajaiban terjadi dalam bauran antaran budaya disiplin dan kewirausahaan etis. Oleh karena itu, menurut Collins, betapa pesatnya perusahaan yang berkembang secara konsisten melakukan eksekusi tanpa menciptakan birokrasi yang tidak perlu. Mereka melakukannya dengan membangun budaya disiplin, yang ia definisikan sebagai “orang-orang disiplin yang terlibat dalam berpikir dan bertindak disiplin ini adalah landasan budaya yang menciptakan kehebatan.”

Beberapa pemimpin perusahaan startup terobsesi menerapkan disciplined process. Mereka berusaha untuk menemukan cara yang benar dan terbaik dalam melakukan sesuatu dan bekerja keras untuk menanamkan ketelitian dan disiplin agar pelaksanaannya konsisten (consistent execution). Dengan demikian, kesabaran adalah consistent execution.

#2 Keihklasan (Sincere)

SPRINT+ Behavior kedua ialah keikhlasan (sincere), yang dapat dimaknai sebagai upaya kejujuran dan transparan atau fair dalam menghasilkan produk/layanan untuk dapat memecahkan persoalan masyarakat atau memenuhi kebutuhan mereka saat ini. Seperti kata Geoffrey Jones dalam Deeply Responsible Business (2023) terbitan Harvard Business Review Press bahwa dalam bisnis diperlukan kesejalanan antara keuntungan dan tujuan sosial. Ini karena organisasi perusahaan didorong memiliki landasan rasa tanggung jawab yang lebih besar (higher responsibility).

Jones menemukan bahwa para pemimpin perusahaan seringkali termotivasi oleh nilai-nilai dasar (values). Ia menyebutnya dengan istilah tanggung jawab yang lebih tinggi, melampaui kepentingan diri sendiri (self-interest) dan profit semata. Keikhlasan itu beyond self-interest. Dengan cara ini, maka pertumbuhan bisnis yang dikejar pun bukan dalam jangka waktu pendek, melainkan jangka panjang dan berkelanjutan. Geoffrey Jones menampilkan profil para pemimpin bisnis dari seluruh dunia yang menggabungkan keuntungan dengan tujuan sosial untuk menghadapi kesenjangan, kerusakan, dan degradasi ekologi, dan lainnya. Mereka mampu bertahan melewati 100 tahun. The centennials.

#3 Kesabaran (Perseverance)

Elemen SPRINT+ Behavior ketiga adalah kesabaran. Yang penulis artikan sebagai upaya untuk meraih hasil bukan dengan cara instan, melainkan kegigihan atau ketekunan. Atau, istilah manajemen yang keren adalah grit. Menurut Thomas H. Lee & Angela L. Duckworth dalam Organizational Grit di Harvard Business Review menyebutkan bahwa grit adalah kombinasi antara passion (kecintaan) dan perseverance (ketabahan). Seperti seorang dokter yang teliti, hati-hati, kegigihan, dan kepedulian untuk menyelematkan nyawa banyak orang. Inilah bentuk kesabaran.

Dalam artikel ini, Lee dan Duckworth, mengatakan bahwa dalam organisasi layanan kesehatan mempekerjakan orang-orang yang memiliki ketabahan—yang mencintai apa yang mereka lakukan, selalu ingin menjadi lebih baik, dan tangguh dalam menghadapi kemunduran. Tekad mereka berasal dari hierarki tujuan pribadi yang jelas, di mana tujuan jangka pendek mendukung tujuan tingkat atas yang memberikan arahan terhadap segala sesuatu yang mereka lakukan.

Menurut Dorie Clark dalam bukunya The Long Game: How to Be a Long-Term Thinker in a Short-Term World (2021), saat menyebutkan ciri-ciri seorang pemimpin hebat, kesabaran mungkin bukanlah hal pertama yang terlintas dalam pikiran banyak orang. Namun survei baru yang dilakukan oleh seorang profesor di Georgia Tech mengungkapkan bahwa ketika para pemimpin menunjukkan kesabaran, hal ini secara signifikan meningkatkan kreativitas, kolaborasi, dan produktivitas laporan mereka.

High achievers have extraordinary stamina. Stamina tersebut datang dari keteguhan terhadap komitmen dan kesabaran.

Achmad Soegiarto

Di dunia yang menuntut ketangkasan dan hasil (results) yang cepat, bagaimana manajer dapat mengembangkan kualitas penting ini? Dengan mendefinisikan ulang arti kecepatan, sabar dalam merencanakan dan melaksanakan misi mereka yang sensitif terhadap waktu; dan dengan mempraktikkan rasa syukur, yang menurut penelitian itu ternyata dapat menurunkan stres dan membantu orang menunda kepuasan.

Dalam bukunya itu, Dorie mengatakan memimpin secara efektif – terutama saat krisis – membutuhkan kesabaran. Jika Anda tidak bisa tetap tenang saat menghadapi frustrasi atau kesulitan, Anda tidak akan bisa membuat orang lain tetap tenang. Solusi terhadap tantangan baru biasanya membutuhkan waktu untuk dipraktikkan. Banyak orang menginginkan perbaikan yang cepat dan tidak sabar menunggu strategi diterapkan. Kecenderungan ini diperkuat oleh dunia kerja digital kita yang serba cepat, yang tampaknya mengutamakan kecepatan tinggi.

Padahal, seperti kata Lee dan Duckworth bahwa high achievers itu punya stamina luar biasa. High achievers have extraordinary stamina. Stamina tersebut datang dari keteguhan terhadap komitmen dan kesabaran. Meskipun para leader sudah berada di puncak karirnya, mereka selalu berusaha untuk meningkatkan diri. Sekalipun pekerjaan mereka membutuhkan pengorbanan, mereka tetap mencintai apa yang mereka lakukan. Bahkan ketika ada jalan yang lebih mudah, komitmen mereka tetap teguh. Kombinasi keteguhan dan kekuatan yang luar biasa ini disebut sebagai “ketabahan.”

#4 Kasih Sayang (Compassionate)

Kasih sayang merupakan bentuk culture of innovation yang memiliki rasa cinta terhadap inovasi bagaikan anak sendiri. Dalam buku Compassionate Leadership: How to do Hard Things in a Human Way (2021), Rasmus Hougaard & Jacqueline Carter kasih sayang ini sama dengan compassionate. Mereka mengatakan bahwa seorang pemimpin atau inovator memiliki rasa tanggung jawab untuk melakukan hal apapun, meskipun sulit, agar hasil karyanya bisa menyelesaikan persoalan masyarakat dan lingkungan.

Kasih sayang (compassionate) adalah kombinasi antara kepedulian (care) dan kebijaksanaan (wisdom). Kepedulian ialah bentuk kecintaan, yang berani dan rela mengerjakan sesuatu untuk menghasilkan dampak bagi orang lain. Sementara kebijaksanaan adalah melihat kenyataan dengan jelas dan bertindak tepat.

Achmad Soegiarto

Jika diartikan, kasih sayang atau welas asih (compassionate) adalah kombinasi antara kepedulian (care) dan kebijaksanaan (wisdom). Kepedulian (care) adalah bentuk kecintaan. Berani dan rela mengerjakan sesuatu pilihan yang mau diambil oleh banyak orang, dan menghasilkan dampak bagi orang lain. Sementara itu, kebijaksanaan (wisdom) adalah melihat kenyataan dengan jelas dan bertindak tepat. Ini adalah pandangan jauh ke depan yang datang dari pengalaman, dan ini membantu kita menghadapi hal-hal sulit di awal daripada berbelit-belit. Memiliki kebijaksanaan berarti memiliki pertimbangan yang baik dalam cara memimpin orang lain dan cara menjalankan bisnis dengan cara yang terarah dan berkelanjutan.

Kombinasi antara care dan wisdom ini, menurut Rasmus Hougaard & Jacqueline Carter, telah menghasilkan sebuah model matriks dengan empat komponen yakni wise compassion, caring avoidance, ineffetive indiffference, dan uncaring execution. Untuk membentuk culture of innovation, menurut penulis perlu mengambil langkah wise compassion.

Kesimpulan

SPRINT+ Behavior adalah culture of innovation yang merupakan suatu kebutuhan untuk menumbuhkan budaya inovasi dan kreativitas organisasi. Penulis menemukan ada empat perilaku yang perlu dalam SPRINT+ Behavior yakni ketaatan, keikhlasan, kesabaran, dan kasih sayang. Keempat perilaku ini diharapkan dapat membantu mendorong inovasi dan kreativitas berkembang, sehingga organisasi Anda semakin kompetitif, lincah, dan tumbuh berkelanjutan (sustainable growth). []

Achmad Soegiarto

Asia Education Award Winner in Two Categories 2023; Satyalencana Wirakarya Presiden RI 2016; Chief Strategy Officer 2019-2023; Penulis Synergy Way of Disruption (2018) & Synergy Way of Ecosystem Collaboration (2022), Founder Sprint+ (now), Business Innovation Catalysator (now), Business Ecosystem Practitioner 2022~now.

Post navigation

Leave a Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *