Selama di Yogyakarta long weekend 28 September hingga 1 Oktober 2023 telah banyak memberi inspirasi. Mulai dari hikmah Maulid Nabi Muhammad SAW, hingga merasakan Yogyakarta yang fantastik tidak pernah berubah kreatifitasnya, jalan Malioboro yang selalu semarak dan ngangeni, peninggalan warisan budaya penuh arti dan mengagumkan, filosofi-filosofi Jawa yang sangat luar biasa, hingga penulis berdiskusi di Kawedanan Darah Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, semuanya membuat suasana adem di hati!
Sementara, berita nasionalnya, peringatan Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober, hingga Happy National Batik Day 2 Oktober 2023.
Long weekend kali ini sangat mengagumkan, konsep penulis tentang Big Leap Great Move Indonesia 2060, hikmahnya buat penulis harus terus berkarya, “HIDUP ITU NYALA!”
Beberapa tahun belakangan, disamping menyelesaikan buku Synergy Way of Ecosystem Collaboration (2022), sebagai narasumber di berbagai seminar, penulis mendapat kesempatan mengajar di berbagai kampus negeri seperti Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Institut Teknologi Bacharuddin Jusuf Habibie (ITH) Pare-Pare, dan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.
Tulisan “Transformasi Ecosystem Collaboration Sebagai Jalan Keluar” (CNBC, 11 Nopember 2022), berita Presiden Joko Widodo meluncurkan Bursa Karbon Indonesia Selasa, 26 September 2023 dan berita “Ghana bangkrut, 24 Negara Ini Terancam Ikut Nyusul” (Detik, 30 September 2023), serta lesson learned long weekend Yogyakarta kali ini, telah meyakinkan penulis dalam setiap interaksi dengan siapapun termasuk mahasiswa, harus semakin aktif akselerasi program “1 mahasiswa, 1 inovasi”, apapun itu inovasinya, agar pada akhirnya mampu mandiri sebagai bangsa entrepreuner di atas inovasinya, adalah ide penulis untuk mengembangkan kapabilitas inovasi anak bangsa di seluruh negeri.
Melahirkan Transformational Leader
Ketika menginisiasi ide “1 mahasiswa, 1 inovasi”, penulis sesungguhnya ingin mendorong terciptanya mesin leader creates leaders, agar mampu menghasilkan pemimpin transformatif (transformational leader), seperti diungkapkan Saul Mcleod, Ph.D., dalam tulisannya Transformational Leadership Style: How To Inspire And Motivate (2023). Sebagai kelompok terdidik, mereka diharapkan siap menjadi pemimpin di masa depan.
Saat inilah kesempatan kita segera menggerakkan semua potensi anak bangsa, “mengolahragakan otak kanan dan kiri” agar semakin sehat dan banyak melahirkan Transformational Leadership Intellectual Stimulus, bukan karbitan!
Melahirkan Inovator Anak Bangsa
Lalu, bagaimana agar siapapun dapat merealisasikan inovasinya? Sebenarnya banyak metoda yang dapat dibenchmark. Kali ini penulis menggunakan metoda yang paling mudah dan cepat “Innovation Sprint” yakni cara-cara melahirkan inovasi dalam jangka waktu pendek agar semakin cepat diwujudkan. Dengan metode ini, para mahasiswa didorong untuk responsif melihat permasalahan dan peluang di masyarakat, berani ambil langkah pengembangan produk/solusi diluncurkan, semakin cepat produk diluncurkan semakin tahu nilai lessons-learned serta feedback yang diterima, sehingga semakin cepat untuk lakukan improvement. Begitulah prinsip sprint method.
Seperti ditulis oleh Jake Knapp dalam bukunya Sprint: How to Solve Big Problems and Test New Ideas in Just Five Days (2016) bahwa proses penciptaan inovasi bisa dilakukan dalam waktu relatif pendek yakni 5 hari, seperti pada gambar di bawah ini. Ini dimulai dari memetakan target pasar, menciptakan sketsa, memilih yang terbaik, membuat prototipe dan mengujicobakan produk ke target pasar. Dengan demikian, mahasiswa memiliki waktu yang tidak lebih dari seminggu untuk meluncurkan produk ke pasar.
Mengapa Sprint Innovation?
Petinju terkenal Mike Tyson pernah mengatakan “Everybody has a plan until they get punched in the mouth,” ujarnya. Kata-kata ini seolah memberikan gambaran bagaimana seorang akan memiliki spirit of fighting bila ia menghadapi ancaman nyata. Ia seolah didesak untuk berbuat sesuatu untutk membalikkan keadaan. Harus ada “pukulan” maka mau tidak mau orang berbenah. Dalam kondisi memaksa itu, orang berani bergerak lebih cepat.
Atas dasar itu, penulis berkeyakinan bahwa kita mampu melahirkan pemimpin inovatif, karena mereka adalah calon pemimpin di masa mendatang. Karena itu, perlu dilatih dan didorong menghasilkan satu inovasi selama menjadi mahasiswa, agar kelak mereka bisa menjadi pemimpin inovatif.
Sepakat Mike Tyson tersebut, mereka harus dibina (tidak cukup dimotivasi) untuk berpikir inovatif dan kreatif sehingga kelak mampu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dan impactful.
Keterampilan Inovasi
Dalam bukunya The Innovator’s DNA, Clayton Christensen menulis bahwa selama 8 tahun riset lapangan, ia dan rekan-rekannya menemukan bahwa para pendiri perusahaan disruptif (yang mampu menggoncang pasar dengan produk/solusi terobosan sehingga mengancam pemain lama) selalu inovatif. Artinya, mereka kerap melahirkan ide-ide baru yang diluncurkan untuk target pasarnya. Inovasi ini terlihat dari produksi ide hingga eksekusi.
Lalu, Christensen bercerita bagaimana seorang entrepreneur, middle manager dan top manager (secara individu) dapat memiliki keterampilan (skill) disruptif serta mendesain organisasi untuk kompetitif. Di level individu, Christensen melihat ada 5 core skills yang harus dikuasai yaitu kemampuan kognitif mengoneksikan atau meramu (associating), mempertanyakan (questioning), mengamati (observing), berjejaring (networking), dan percobaan (experimenting). Dengan memiliki 5 core skills itu, mahasiswa diharapkan dapat memiliki kemampuan inovasi.
Melihat betapa pentingnya inovasi yang harus dimiliki mahasiswa, maka penulis mendorong pentingnya mereka memiliki kemampuan inovasi. Keterampilan ini bisa berguna kelak bagi karir mereka dimanapun, organisasi profit-oriented, lembaga negara, sosial kemasyarakatan, dan lainnya.
Tidak Ada Benar-Salah
Penulis berkeyakinan bahwa dalam menciptakan inovasi tidak ada benar-salah. Hal ini juga dialami penulis saat mengikuti setiap mata kuliah program eksekutif di Harvard Business School (2019). Yang ada adalah keberanian bergerak lincah (agile) untuk mengejar peluang, sehingga cepat mengambil keputusan untuk eksperimentasi, mengembangkan produk/layanan, take a risk, dan gagal cepat (fail-fast) bila tidak sukses. Dengan cara ini, inovasi bukanlah sesuatu benar-salah, melainkan inovasi yang belum sempurna sehingga didorong untuk terus berbenah (continuous improvement).
Ini yang kemudian diungkapkan juga oleh Eric Ries dalam buku terkenalnya The Lean Startup: How Today’s Entrepreneurs Use Continuous Innovation to Create Radically Successful Businesses (2011). Eric Ries memperkenalkan pentingnya inovasi penciptaan produk melalui siklus model minimum viable product (MVP). MVP adalah minimum requirement untuk menciptakan produk, sehingga kita bisa langsung memperkenalkan ke pasar dan mendapatkan umpan-balik (feedback) dari konsumen untuk penyempurnaan (improvement).
Inovasi akan mengalami siklus Build-Measure-Learn. Dimana produk dikembangkan, mengukur efektivitas hasilnya di pasar, dan improvement atau dikembangkan lagi berdasarkan feedback. Dengan demikian, melalui inovasi, hampir tak mengenal kata “usai” dari pengembangan. Setiap menit didorong melakukan improvement sesuai dengan masukan dari pasar.
Dengan demikian, adanya gerakan “1 mahasiswa, 1 inovasi” yang penulis coba terapkan di beberapa kampus, berharap memberikan kontribusi kepada bangsa untuk mendorong anak bangsa lebih responsif melihat masalah dan jeli mengidentifikasi solusi, tidak takut mencoba, tak kapok gagal, terus berbenah agar lebih baik, sehingga mereka kelak dapat menjadi transformational leader di kemudian hari.
Penutup
Yogyakarta telah banyak memberi inspirasi. Selamat HUT ke 267 Kota Yogyakarta, thank you Yogyakarta, see you soon!
Achmad Soegiarto
Satyalencana Wirakarya Presiden RI 2016; Chief Strategy Officer 2019-2023; Penulis Synergy Way of Disruption (2018) & Synergy Way of Ecosystem Collaboration (2022), Business Ecosystem Practitioner 2022~now.
Leave a Comment