Menurut UN Migration (International Organization for Migration), terletak di Pacific Ring of Fire, suatu wilayah dengan aktivitas tektonik tinggi, Indonesia merupakan salah satu wilayah paling rawan bencana alam di dunia dan berisiko terhadap berbagai bahaya (2022). Indonesia sendiri memiliki risiko tinggi terhadap ancaman bencana alam. Menurut World Risk Report 2025, secara risiko, Indonesia berada di peringkat ke-3 dari 193 atau berisiko sangat tinggi terhadap bencana alam (khususnya banjir). Lalu, secara exposure (terdampak) di urutan ke-5 tertinggi di global.
Berdasarkan data Center for Excellence in Disaster Management & Humanitarian Assistance (2025), diperkirakan 97% populasi penduduk Indonesia hidup berada di area bencana dengan 62% terdampak langsung: 63,7 juta terkena banjir, 40,8 juta terancam longsor, 4,2 juta berdekatan dengan tsunami, 3,9 juta berisiko kena aktivitas vulkanik, 516.000 orang mengungsi, dan sekitar 320.000 km2 kehilangan tutupan pohon (tree cover loss) (World Risk Report, 2025).
Misalnya, menurut data GoodStats (2025), dari Januari-September 2025 telah terjadi 1.005 peristiwa banjir di Indonesia. Banyak wilayah terkena banjir akibat kerusakan lingkungan dan urbanisasi. Adanya bencana ini mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat. Menurut Celios, banjir di Aceh pada November ini mengalami kerugian sebesar Rp2,04 triliun. Nilai tersebut lebih besar dibanding Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor tambang sebesar Rp929 miliar (31 Agustus 2025) (Celios, 2025).
Berdasarkan studi United Nation Disaster Risk Reduction (UNDRR), tren ancaman bencana ini akan terus meningkat seiring kenaikan risiko bencana alam akibat terjadinya perubahan iklim, urbanisasi, unsustainable resource utilization, dan kerusakan lingkungan. Menurut laporan Center for Excellence in Disaster Management & Humanitarian Assistance (2025), banjir menempati di urutan pertama. Lalu diikuti oleh risiko gempa bumi, longsor, aktivitas vulkanik, dan lainnya.
Salah satu ancaman bencana ke depan adalah megathrust, gempa bumi dengan kekuatan besar >9 SR (skala richter) di sepanjang batas lempeng tektonik. Menurut BMKG, Indonesia sendiri memiliki 13 zona yakni Jawa (3), Sumatera (6), Sulawesi (2), Papua (1), dan Sumba (1) (BMKG & CNBC, 2025). Adanya megathrust menjadi ancaman serius kesiapan menghadapi gempa yang berpotensi menghasilkan tsunami (CNBC, 30/11/2025).
Dengan potensi bencana yang besar itu, United Nations Development Programme (UNDP) melakukan studi tentang pentingnya inovasi teknologi untuk mengurangi risiko bencana (innovation for disaster risk reduction) (UNDP, 2024). Melalui inovasi dan teknologi, ini bertujuan meminimalisasi dampak kerusakan baik secara ekonomi, ekologis, infrastruktur, kesehatan, dan lainnya.
THE 5 TECH-INNOVATIONS
Salah satu alasan mengapa akselerasi inovasi teknologi menjadi penting, menurut studi UNDRR, ditujukan untuk dapat mengurangi risiko jatuhnya korban dan daya tahan untuk kehidupan masa depan (UNDRR, 2025). Setidaknya, ada lima jenis inovasi teknologi yang perlu dikembangkan.
- Meningkatkan Risk Assessment: Inovasi teknologi dalam hal ini bertujuan untuk memonitor risiko bencana secara reguler berdasarkan data yang akurat, sehingga dapat memberikan masukan dalam mengambil keputusan para pemangku kepentingan atau pengambil keputusan, yang selama ini sudah digunakan di Indonesia dan beberapa negara lain.
- Remote Sensing & Penginderaan Jauh: Secara umum, teknologi ini dimanfaatkan untuk melakukan pemetaan secara jelas dan cepat dengan satelit. Seperti citra satelit resolusi tinggi (Sentinel, Landsat, PlanetScope) untuk memetakan daerah rawan banjir, perubahan tutupan lahan, deforestasi, kenaikan muka air. Atau, teknologi SAR (Synthetic Aperture Radar) bisa mendeteksi banjir meski tertutup awan, sangat penting saat hujan lebat. Dan, Drone/UAV ditujukan pemetaan real-time, akurat, dan detail skala desa–kecamatan.
- Geographic Information System (GIS): Platform pemetaan dan analisis spasial ini sangat penting dalam risk assessment, seperti software ArcGIS, QGIS, InaRISK (yang digunakan BNPB), dan Google Earth Engine. Umumnya, teknologi ini digunakan untuk overlay peta bahaya + populasi + infrastruktur, pembuatan peta risiko multi-bahaya, zonasi kerentanan (vulnerability mapping), dan pemetaan rute evakuasi dan titik aman.
- AI-Based Forecasting & Machine Learning Models: Model kecerdasan buatan untuk memprediksi kejadian bencana secara lebih akurat. Digunakan untuk: Prediksi banjir dari curah hujan + topografi + DAS, Prediksi tanah longsor dari data kelembapan tanah, Prediksi badai/puting beliung, Deteksi anomali cuaca ekstrem, dan lainnya.
- Memaksimalkan Early Warning Systems: Teknologi yang ditujukan untuk memungkinkan pengembangan sistem lebih canggih memperingatkan masyarakat tentang bahaya yang akan datang seperti banjir, gempa bumi, dan angin topan.
- IoT Sensors & Early Warning Systems (EWS): Sistem sensor memberikan peringatan dini berdasarkan data real-time. Contohnya meningkatkan sensor ketinggian muka air sungai, curah hujan, patahan/tanah bergerak untuk longsor, kualitas infrastruktur bendungan, dan lainnya.
- Tsunami Early Warning Buoys & Seismic Networks: Sistem peringatan dini tsunami yang terus memantau aktivitas tektonik. Beberapa jenis teknologinya seperti ocean-bottom pressure sensors (OBPS), buoy tsunami (DART buoys) di Jepang, seismic broadband networks yang sudah dipakai di Indonesia, dan GPS geodesi (InSAR, GNSS) untuk deformasi kerak bumi. Tujuannya ialah mendeteksi dini gempa pemicu tsunami, pengukuran tekanan dasar laut, dan melacak gelombang tsunami sebelum mencapai daratan.
- Mobile Alerts & Multi-Channel Warning Systems: Sistem peringatan yang langsung menjangkau masyarakat. Teknologi ini memiliki alur dari cell broadcast → pesan otomatis ke semua ponsel di area terdampak, sirene digital otomatis, radio digital & TV, aplikasi mobile (InaRISK Personal, PetaBencana.org), dan notifikasi berbasis GPS. Tujuannya agar pesan dapat kedaruratan sampai ke warga dalam hitungan detik, bisa digunakan tanpa internet, dan menjangkau area luas sekaligus.
- Menaikkan Response & Recovery: Dalam mengantisipasi atau merespons bencana, teknologi response & recovery digunakan untuk penilaian kerusakan, operasi pencarian dan penyelamatan, serta pendistribusian bantuan di daerah yang dilanda bencana.
- Drones & Aerial Robotics: Drone digunakan untuk respons cepat dan pemulihan pascabencana. Misalnya dalam pencarian korban (thermal imaging), pemantauan kerusakan infrastruktur, transportasi obat & logistik ringan, pemetaan 3D area terdampak, dan identifikasi titik evakuasi terbaik. Contohnya teknologi LiDAR drone, thermal & multispectral drone, dan long-endurance fixed-wing UAV.
- Crowdsourcing & Social Sensing: Menggunakan laporan masyarakat untuk memperkuat deteksi dini bencana. Dalam hal ini, di beberapa negara seperti Jepang atau Amerika Serikat, teknologi AI digunakan memonitor kata kunci di platform media sosial, sistem laporan WhatsApp/Telegram otomatis, platform PetaBencana (di Indonesia), CCTV yang dianalisis oleh AI untuk melihat banjir, dan lainnya.
- Robotics & Autonomous Systems: Robot sangat penting ketika area terlalu berbahaya untuk tim SAR. Dalam hal ini, beberapa negara menggunakan jenis robot search-and-rescue robots (UGV – ground robots), snake robots untuk masuk ke reruntuhan, autonomous underwater vehicles (AUV), dan robotic exoskeleton untuk mengangkat puing berat.
- Mendorong Resilient Infrastructure: Inovasi teknologi yang digunakan untuk merancang dan membangun infrastruktur yang lebih tangguh, seperti gedung dan jalan, yang dapat menahan bencana alam.
- Structural Health Monitoring (SHM) with IoT: teknologi monitoring & pemeliharaan infrastruktur. Digunakan di Jepang, Korea, AS, dan Eropa yang ditujukan untuk memantau kondisi jembatan, gedung, bendungan secara real-time. Beberapa contoh teknologinya seperti accelerometer, strain gauge, dan vibration sensors. Misalnya, Jembatan Akashi Kaikyō (Jepang) dipantau 24 jam nonstop.
- Smart Flood Barrier & Storm Surge Gates: infrastruktur tangguh banjir & kenaikan air laut. Digunakan di Belanda, Inggris, AS, dan Jepang yang berfungsi untuk pintu raksasa otomatis untuk menahan banjir dan badai. Beberapa negara yang memiliki sungai besar atau dikelilingi laut seperti Belanda, Inggris, dan Italia menggunakan teknologi ini.
- Utility Grid Hardening: Teknologi untuk memperkuat infrastruktur listrik di saat bencana, yang telah digunakan di Jepang, AS, dan Korea Selatan. Microgrid ini memungkinkan jaringan listrik tetap hidup, kabel listrik bawah tanah, dan gardu tahan banjir.
- Mengembangkan Effective Governance & Preparedness: Inovasi teknologi yang dapat membantu tata kelola yang lebih baik dalam hal informasi risiko seperti pengenalan risiko-risiko bencana, simulasi emergency, dan recovery saat terjadi bencana. Tujuannya membantu meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat dan kemampuan respons.
- Disaster Management Platforms (Command & Control Systems): Sistem ini digunakan pemerintah untuk koordinasi lintas lembaga, visualisasi data, dan pengambilan keputusan cepat. Misalnya, (a) FEMA Integrated Public Alert & Warning System (IPAWS) – Amerika Serikat. Teknologi mencakup: Dashboard nasional,Integrasi SMS, TV, radio, sirene otomatis, Sistem geotarget alert berdasarkan GPS. (b) Japan Disaster Management System (J-ALERT): Satelit → pusat data nasional → sirene kota → gawai warga. Digunakan untuk gempa, tsunami, rudal balistik. Waktu peringatan: < 10 detik setelah deteksi gempa besar.
- AI-Based Disaster Decision Support System (DSS): Teknologi berbasis AI yang digunakan di Jepang, Korea Selatan, AS, dan Eropa dalam membantu prediksi dampak, simulasi evakuasi, alokasi sumber daya, dan prioritas penyelamatan. Contoh: Korea memakai AI untuk mengalokasikan mobil pemadam dalam kebakaran kota. Italia menggunakan AI Flood Decision Support System untuk memetakan risiko banjir harian.
- Disaster Simulation & Training Technology: Teknologi berbasiskan virtual reality (VR) untuk simulasi kebencanaan yang digunakan di banyak negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Jerman. Teknologi ini memungkinkan warga mengetahui simulasi tsunami, latihan evakuasi gempa, dan latihan kebakaran gedung tinggi. Contoh: Kota Yokohama memilki VR Tsunami Simulator untuk siswa.
Kesimpulan
Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat risiko bencana tertinggi di dunia. Posisi geografis di Pacific Ring of Fire, tingginya aktivitas tektonik, perubahan iklim, urbanisasi, serta kerusakan lingkungan menyebabkan sebagian besar populasi Indonesia hidup dalam ancaman bencana, khususnya banjir, gempa bumi, longsor, tsunami, dan aktivitas vulkanik. Data World Risk Report 2025 menegaskan bahwa Indonesia berada pada kategori risiko sangat tinggi.
Menghadapi kompleksitas ancaman tersebut, kita harus selalu berdoa, semoga kita dalam lindungan Allah SWT, semoga dijauhi dari selaga ancaman bahaya. Aamiin YRA.
Inovasi teknologi menjadi pertimbangan penting dalam pengurangan risiko bencana. Teknologi memainkan peran strategis dalam seluruh siklus manajemen bencana, mulai dari risk assessment, early warning, response & recovery, resilient infrastructure, hingga governance & preparedness dengan mengerahkan segala potensi anak-anak bangsa untuk mewujudkan kemandirian, kedaulatan, dan kemajuan. []
Referensi
Dr. Ilona Auer Frege, et.al., World Risk Report 2025, Focus: Floods, 2025.
Nailul Huda & Bhima Yudhistira Adhinegara, Dampak Kerugian Ekonomi Bencana Banjir Sumatera, Celios, 30 November 2025.
UNDRR, Special Report on the Use of Technology for Disaster Risk Reduction, September, 2025.
UNDRR, UNDRR Strategic Framework 2026-2030: Accelerated Action for a Safer, More Resilient Future, 2025.
ASEAN Socio-Cultural Community Trend Report, Technologies Outlook for Disaster Management in ASEAN, 2025.
UNDP, Innovation in Disaster Management: Leveraging Technology to Save More Lives, March 14, 2024.
UNESCO, Knowledge, Science, Technology, and Innovation for Resilience, August 2024.
World Meteorological Organization, Harnessing Emerging Technologies for Disaster Risk Reduction, 18 December 2023.
Samantha Kuzma & Tianyi Luo, Jumlah Korban Banjir akan Berlipat Ganda antara tahun 2010 dan 2030, WRI Indonesia, 6 Mei, 2020.
Shahibah A, Indonesia Dilanda Seribu Banjir per September 2025, GoodStats, 13 Oktober, 2025.
UN Migration, Disaster, Climate and Resilience, 2022.
Center for Excellence in Disaster Management & Humanitarian Assistance, Understanding Natural Hazards: Risks Facing Indonesia, January 2025.
UNDRR, Tech4DRR: Democratizing Innovation to Reduce Disaster Risk, July 14, 2025.



Leave a Comment