Transformasi Ecosystem Collaboration Sebagai Jalan Keluar

OPINI – Achmad Sugiarto, CNBC Indonesia

Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengumumkan realisasi kinerja perekonomian Indonesia kuartal III-2022, Senin (7/11/2022). Pertumbuhan ekonomi tercatat 5,72%, sesuai dengan proyeksi yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yaitu di atas 5%.

Kendati demikian, jelang tutup tahun, masyarakat tetap menatap tahun 2023 dengan penuh kewaspadaan. Para pembantu presiden pun telah mewanti-wanti akan hal tersebut.

“IMF bilang pada 2023 is gonna be dark. Itu yang disebut gelap. Kalau saya bicara begitu dianggap menakuti-nakuti padahal sebetulnya tidak. Saya hanya menyampaikan risiko itu ada dan kita harus waspada,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam sebuah webinar (CNBC Indonesia, Jumat 28 Oktober 2022).

Maka, sebagai antisipasi dan pertimbangan khususnya dalam dunia usaha, apa yang perlu dilakukan. Ditambah lagi belakangan ini, populer banyak orang menyampaikan gagasan ‘kolaborasi’ dalam menghadapi 2023.

Mengapa Ecosystem Collaboration?

Dalam situasi bisnis ke depan yang akan semakin menarik, tentunya investasi, internal rate or return (IRR), free cashflow, profitabilitas, dan sebagainya, dalam analisis kualitas dan kuantitas semakin menjadi short term, perlu perhitungan yang sangat cermat.

Ekonomi dan bisnis harus terus berjalan. Salah satu jalan keluar yang bisa dipertimbangkan adalah strategi ecosystem collaboration, menguatkan kapabilitas dan berbagi kapabilitas.

Salah satu jalan keluar yang bisa dipertimbangkan adalah strategi ecosystem collaboration, menguatkan kapabilitas dan berbagi kapabilitas.Achmad Soegiarto

Sebelum mendesain sebuah ecosystem collaboration, kita perlu mengetahui sejarahnya. ecosystem collaboration boleh saya katakan adalah Synergy Way (SW) 3.0. Apakah itu?

Memang, sinergi dan kolaborasi adalah kata yang sangat mudah diucapkan namun sulit untuk diimplementasikan. Ini karena ego sektoral sangat kental dan banyak ditemui di lapangan.

Sebenarnya evolusi sinergi itu sendiri telah bertransformasi. Sinergi dengan kolaborasi adalah berbeda.

Berbekal pengalaman 30 tahun saya berkarya di sebuah BUMN besar dan saat ini di sebuah group konglomerasi, saya dapat berbagi adalah sebagai berikut:

1. Synergy Way (SW) 1.0
Cara ini terjadi pada era tahun sebelum 2015, di mana sinergi dilakukan as usual, dilakukan di dalam sebuah perusahaan, yang biasanya dominan dilakukan dan dibutuhkan hanya buat mereka yang memang membutuhkan dukungan. Sinergi sebagai mediator.

2. Synergy Way (SW) 2.0
Implementasi ini mulai banyak dilakukan setelah 2015, di mana saat itu populer sering disebut pada disruption era. Setiap enterprise bisnis hingga UMKM melakukan konsolidasi, melakukan evaluasi kembali terhadap bisnisnya, apakah mampu bersaing dengan para startup yang tiba-tiba banyak melahirkan terobosan baru dengan model bisnis barunya.

Jalan keluar era tersebut telah saya tulis dalam buku ‘Synergy Way Of Disruption’ (2018), yaitu cara bersinergi yang harus mampu melahirkan layanan disruption dan harus mampu menjadi solusi kebutuhan masyarakat.

Sinergi sebagai advisor (2016), kemudian sinergi sebagai driver (2017).

3. Synergy Way (SW) 3.0
Konsep ini saya menyebut sebagai solusi dari tekanan era pandemi Covid-19 ditambah dengan tekanan kondisi makro dan mikro ekonomi saat ini. Oleh sebab itu, dalam buku terbaru (2022) ini saya menyebut dengan ‘Synergy Way Of Ecosystem Collaboration’, apakah itu?

Ecosystem Collaboration singkatnya adalah sebagai cara memberi pengalaman dan kemudahan baru buat pelanggan, memperbesar market size, menghasilkan profitabilitas secara bersamaan.

Ada benang merah dalam context SW-01, SW-02 dan SW-03, di mana SW-01 dan SW-02 strategi yang dilakukan hanya di dalam sebuah perusahaan, sedangkan SW-03 adalah strategi yang dilakukan di dalam perusahaan (intra) dan bersama dengan dari luar perusahaan (inter), yang menghasilkan value baru.

Tahapan yang perlu dikembangkan dalam model Synergy Way Of Ecosystem Collaboration, yaitu

1. Enabler
Penciptaan keterbukaan dalam sebuah industri untuk dapat menjadi jauh lebih besar (ekosistem), dengan tata kelola organisasi yang terbuka, kultur inklusif, open system technology, dan win-win model bisnis

2. Realizer
Upaya impactful dalam mengintegrasikan ekosistem inovasi (intra dan inter) ke dalam rantai nilai bisnis perusahaan.

3. Orchestrator
Kemampuan mengorkestrasi sumber daya untuk menghasilkan value proposition.

4. Experiencer
Hasil yang harus dirasakan dari pengalaman interaksi dan transaksi.

Bila salah satu dari hal-hal di atas yang saya sebutkan tidak terjadi, maka jangan harap strategi ecosystem collaboration anda terjadi di 2023.

Post navigation

Leave a Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *